Tanamkan Moral Agama Pada Anak. Agama berperan penting bagi perkembangan moral anak. Untuk itu,menanamkan agama pada anak sejak dini sangat penting. Anak juga akan memahami agama yang dipeluknya secara jelas.
Siapa pun pasti ingin melihat anaknya tumbuh menjadi orang sukses dan berakhlak mulia. Butuh kerja keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tentunya mustahil kalau kita selaku orangtua hanya berpangku tangan, menunggu sampai saat itu tiba.
Orangtua justru dituntut secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita mereka. Selain ilmu pengetahuan, pemahaman agama juga harus menjadi perhatian utama untuk mencetak anak berprestasi hebat dan mulia.
Jika konsep keagamaan telah diajarkan kepada anak sejak dini, kelak setelah dewasa anak akan mengetahui bahwa agama atau keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi untuk menciptakan kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim diri sebagai penyelamat umat manusia, dan mengajarkan kebaikan kepada seluruh umatnya.
Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia, pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama.
Orangtua sebenarnya berhak menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya, sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya menawarkan agama Islam.
Tetapi yang paling penting adalah sekolah di mana anak menganut agama yang berbeda tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan seagama untuk ikut pelajaran agama yang berbeda tersebut. Begitu pula di sekolah Islam, sekolah tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam untuk ikut pelajaran Islam.
"Sekolah tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua untuk mengizinkan anaknya yang bukan seagama mengikuti pelajaran agama yang berbeda di sekolah," kata Psikolog Anak alumni Universitas Indonesia (UI), dr Farah Idris.
Ditambahkannya, menekan orangtua dan anak yang bukan seagama untuk memberi izin anak-anaknya mempelajari agama yang diajarkan di sekolah merupakan sebuah pelanggaran. Bila sekolah swasta beraliran agama tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari penganut agama berbeda, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati.
Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak seagama. Atau ada juga sekolah dengan agama tertentu membuka pintu bagi anak beragama lain, di sekolah anakanak berbeda agama ini akan ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi, sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri.
Dialog Antar Agama negaranegara Asia-Eropa (ASEM Dialog Interfaith) beberapa tahun lalu, menghasilkan deklarasi yang menyepakati upaya bersama untuk menjaga perdamaian dan toleransi di antara umat manusia, mempromosikan perlindungan HAM, menentang digunakannya kekerasan, menentang penggunaan agama untuk merasionalsasi kekerasan, dan membangun harmoni di antara komunitas internasional.
Deklarasi ini juga merekomendasikan adanya studi antaragama sejak sekolah lanjutan pertama yang bertujuan menumbuhkan pemahaman dan penghargaan antarpemeluk agama yang berbeda. Rekomendasi Deklarasi tersebut menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia baik untuk orangtua ataupun anak-anak. Agar anak bisa mendalami agama yang dianutnya, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap dan memahami pluralitas bermasyarakat.
"Tanamkan kepada anak bahwa selain agama, pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem kemanusiaan yang berasal dari konflik-konflik keagamaan," terang dia lagi.
Pendidikan agama yang diajarkan kepada anak-anak seharusnya bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan agama hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya pendidikan agama dipahami dalam sistem yang utuh dan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang harus dijalani oleh anak-anak.
Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak anak menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu, anak memiliki kesempatan untuk mencerna rasa keberagamaannya dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Untuk maksud tersebut, sejak awal anak sudah diperlihatkan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkret, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara.
Mengmbangkan Kepekaan Sosial sejak Dini
KURANGNYA empati kerap menyulut konflik. Komunikasi efektif membantu membangun empati anak sejak dini. Bagaimana membangun empati pada anak sejak dini?
Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan cerminan dari ketiadaan empati, dan ini sering kali menjadi penyulut konflik.
Psikolog dari Universitas Airlangga, Iwan Wahyu Hidayat, mengungkapkan bahwa empati berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang. Menurut dia, empati merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang dirasakannya. Dengan kata lain, empati lebih dari sekadar rasa kasihan, karena di dalamnya terdapat makna untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya.
Itulah sebabnya, bagi para orangtua, membangun pemahaman anak terhadap empati lebih penting artinya dibandinglan sekadar memberikan materi kepada orang lain (misalnya pada pengemis) hanya karena kasihan. Caranya bisa beragam dan akan lebih mengena bila si anak mengalaminya secara langsung.
Misalnya, merayakan ulang tahun bersama anak-anak panti asuhan, membagikan sembako pada para pengungsi bencana alam di tenda-tenda pengungsian, ataupun menyumbangkan alat baca-tulis pada anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan.
Pada dasarnya, setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antara sesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Melalui kegiatan sosial tersebut, anak tidak hanya melihat potret kehidupan orang lain, tetapi belajar untuk peduli dan memahami bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Dengan begitu, empati dan kepekaan sosialnya dapat terasah. Perlu diingat, empati amat erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan sosial sehingga perlu ditanamkan sejak kecil.
Kewajiban ini terletak di pundak orangtua selaku penanggung jawab penuh atas tumbuh-kembang putra-putrinya. Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan. Tentu bukan tanpa alasan, sebab cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosional si anak dan terbawa hingga dewasa kelak. Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek, misalkan melalui kebiasaan curhatyang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan sosial yang lebih luas. "Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun," ujar psikolog Tika Bisono MPsi.
Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak. Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya, antara lain bebas mengemukakan pendapat, mengekspresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi.
"Kebebasan adalah dasar dari sifat mandiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktifpartisipatif," ungkap pemilik Tibis Sinergi Consultant itu seraya menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat putusan sendiri.
Namun, namanya juga anakanak. Mereka masih sangat hijau sehingga bimbingan dan arahan dari orangtua tetap mutlak dilakukan. Tak kalah penting adalah percontohan dari orangtua. Stephen Montana PhD dari Saint Luke Institute New Hampshire USA, mengemukakan bahwa filosofi becermin (mirroring) merupakan dasar dari pendidikan empati orangtua terhadap anaknya.
Ya, orangtua adalah cermin bagi si anak. Tanpa memandang baik atau buruk, anak akan meniru apa pun perilaku orangtuanya. Untuk itu, para orangtua hendaknya berlomba memperbaiki diri agar menjadi "cermin" yang bening bagi anak-anaknya.
Bebas tapi Bertanggung Jawab
Untuk menerapkan pola komunikasi efektif, orangtua perlu memahami tahap-tahap perkembangan. Menurut Tika Bisono, setiap tahapan membawa tuntutantuntutan "tugas perkembangan" yang harus dipelajari agar tidak menghambat proses perkembangan selanjutnya.
Tahapan tersebut umumnya dilalui dengan urutan yang sama bagi semua anak. Hanya, penerimaannya berbeda, ada yang lebih cepat atau lebih lambat. "Ada perbedaan-perbedaan individual antara anak dalam perkembangannya. Baik secara keseluruhan maupun aspek tertentu, seperti perkembangan intelektual, sosial, afektif, emosional," papar Tika.
Seiring tumbuh-kembangnya, anak pun "menuntut" kebebasan. Anak-anak punya hak dan kebebasan mengekspresikan rasa senang, ketakutan, marah, atau sedih. Adalah tugas orangtua untuk mengajari anak bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan baik dan terkendali.
Empati dan kebebasan tentu ada hubungannya. Terkadang, ada anak yang mengekspresikan kebebasannya dengan marah-marah. Jika orangtua tak berusaha memahami penyebabnya, si anak bisa berubah menjadi ketakutan ketika ekspresi marahnya itu ditekan atau tidak diberi kebebasan.
Nilai lain yang terselip dalam aspek kebebasan adalah rasa tanggung jawab. Tak jarang, orangtua menuruti segala keinginan anak untuk memenuhi "tuntutan" si anak atas kebebasannya itu. Begitu pula dengan dalih kasih sayang, mereka membelikan aneka mainan atau barang yang diinginkan putra- putrinya. Perilaku demikian tentu tidaklah mendidik.
"Sebaiknya orangtua menyeimbangkan antara apa yang dapat dilakukan si anak untuk dirinya sendiri dan memilih apa saja yang boleh diberikan untuk mendukung kebebasannya itu," ujar Kristin Zolten MA dari Department of Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences.
Seiring meningkatnya kebebasan, berkembang pula pemahaman anak akan tanggung jawab. Ketika dibelikan sepeda oleh orangtuanya, dia belajar bertanggung jawab menjaga sepedanya agar tidak rusak atau hilang. [okezone.com ]
HTML clipboard
Siapa pun pasti ingin melihat anaknya tumbuh menjadi orang sukses dan berakhlak mulia. Butuh kerja keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tentunya mustahil kalau kita selaku orangtua hanya berpangku tangan, menunggu sampai saat itu tiba.
Orangtua justru dituntut secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita mereka. Selain ilmu pengetahuan, pemahaman agama juga harus menjadi perhatian utama untuk mencetak anak berprestasi hebat dan mulia.
Jika konsep keagamaan telah diajarkan kepada anak sejak dini, kelak setelah dewasa anak akan mengetahui bahwa agama atau keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi untuk menciptakan kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim diri sebagai penyelamat umat manusia, dan mengajarkan kebaikan kepada seluruh umatnya.
Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia, pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama.
Orangtua sebenarnya berhak menentukan apakah, di manakah, dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Namun, hak asasi orangtua itu juga memuat hak agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang tidak dikehendaki. Bukan hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta. Misalnya, sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Muhammadiyah berhak hanya menawarkan agama Islam.
Tetapi yang paling penting adalah sekolah di mana anak menganut agama yang berbeda tidak berhak mewajibkan murid-muridnya yang bukan seagama untuk ikut pelajaran agama yang berbeda tersebut. Begitu pula di sekolah Islam, sekolah tidak berhak mewajibkan murid bukan Islam untuk ikut pelajaran Islam.
"Sekolah tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua untuk mengizinkan anaknya yang bukan seagama mengikuti pelajaran agama yang berbeda di sekolah," kata Psikolog Anak alumni Universitas Indonesia (UI), dr Farah Idris.
Ditambahkannya, menekan orangtua dan anak yang bukan seagama untuk memberi izin anak-anaknya mempelajari agama yang diajarkan di sekolah merupakan sebuah pelanggaran. Bila sekolah swasta beraliran agama tertentu memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari penganut agama berbeda, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati.
Sekolah yang berlandaskan agama pada dasarnya membatasi diri pada anak-anak seagama. Atau ada juga sekolah dengan agama tertentu membuka pintu bagi anak beragama lain, di sekolah anakanak berbeda agama ini akan ditawari pelajaran etika atau budi pekerti. Tetapi, sebenarnya lebih baik lagi bila diberi pelajaran dalam agama mereka sendiri.
Dialog Antar Agama negaranegara Asia-Eropa (ASEM Dialog Interfaith) beberapa tahun lalu, menghasilkan deklarasi yang menyepakati upaya bersama untuk menjaga perdamaian dan toleransi di antara umat manusia, mempromosikan perlindungan HAM, menentang digunakannya kekerasan, menentang penggunaan agama untuk merasionalsasi kekerasan, dan membangun harmoni di antara komunitas internasional.
Deklarasi ini juga merekomendasikan adanya studi antaragama sejak sekolah lanjutan pertama yang bertujuan menumbuhkan pemahaman dan penghargaan antarpemeluk agama yang berbeda. Rekomendasi Deklarasi tersebut menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia baik untuk orangtua ataupun anak-anak. Agar anak bisa mendalami agama yang dianutnya, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap dan memahami pluralitas bermasyarakat.
"Tanamkan kepada anak bahwa selain agama, pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem kemanusiaan yang berasal dari konflik-konflik keagamaan," terang dia lagi.
Pendidikan agama yang diajarkan kepada anak-anak seharusnya bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan agama hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya pendidikan agama dipahami dalam sistem yang utuh dan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang harus dijalani oleh anak-anak.
Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak anak menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu, anak memiliki kesempatan untuk mencerna rasa keberagamaannya dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Untuk maksud tersebut, sejak awal anak sudah diperlihatkan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkret, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara.
Mengmbangkan Kepekaan Sosial sejak Dini
KURANGNYA empati kerap menyulut konflik. Komunikasi efektif membantu membangun empati anak sejak dini. Bagaimana membangun empati pada anak sejak dini?
Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan cerminan dari ketiadaan empati, dan ini sering kali menjadi penyulut konflik.
Psikolog dari Universitas Airlangga, Iwan Wahyu Hidayat, mengungkapkan bahwa empati berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang. Menurut dia, empati merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang dirasakannya. Dengan kata lain, empati lebih dari sekadar rasa kasihan, karena di dalamnya terdapat makna untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya.
Itulah sebabnya, bagi para orangtua, membangun pemahaman anak terhadap empati lebih penting artinya dibandinglan sekadar memberikan materi kepada orang lain (misalnya pada pengemis) hanya karena kasihan. Caranya bisa beragam dan akan lebih mengena bila si anak mengalaminya secara langsung.
Misalnya, merayakan ulang tahun bersama anak-anak panti asuhan, membagikan sembako pada para pengungsi bencana alam di tenda-tenda pengungsian, ataupun menyumbangkan alat baca-tulis pada anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan.
Pada dasarnya, setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antara sesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Melalui kegiatan sosial tersebut, anak tidak hanya melihat potret kehidupan orang lain, tetapi belajar untuk peduli dan memahami bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Dengan begitu, empati dan kepekaan sosialnya dapat terasah. Perlu diingat, empati amat erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan sosial sehingga perlu ditanamkan sejak kecil.
Kewajiban ini terletak di pundak orangtua selaku penanggung jawab penuh atas tumbuh-kembang putra-putrinya. Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan. Tentu bukan tanpa alasan, sebab cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosional si anak dan terbawa hingga dewasa kelak. Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek, misalkan melalui kebiasaan curhatyang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan sosial yang lebih luas. "Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun," ujar psikolog Tika Bisono MPsi.
Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak. Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya, antara lain bebas mengemukakan pendapat, mengekspresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi.
"Kebebasan adalah dasar dari sifat mandiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktifpartisipatif," ungkap pemilik Tibis Sinergi Consultant itu seraya menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat putusan sendiri.
Namun, namanya juga anakanak. Mereka masih sangat hijau sehingga bimbingan dan arahan dari orangtua tetap mutlak dilakukan. Tak kalah penting adalah percontohan dari orangtua. Stephen Montana PhD dari Saint Luke Institute New Hampshire USA, mengemukakan bahwa filosofi becermin (mirroring) merupakan dasar dari pendidikan empati orangtua terhadap anaknya.
Ya, orangtua adalah cermin bagi si anak. Tanpa memandang baik atau buruk, anak akan meniru apa pun perilaku orangtuanya. Untuk itu, para orangtua hendaknya berlomba memperbaiki diri agar menjadi "cermin" yang bening bagi anak-anaknya.
Bebas tapi Bertanggung Jawab
Untuk menerapkan pola komunikasi efektif, orangtua perlu memahami tahap-tahap perkembangan. Menurut Tika Bisono, setiap tahapan membawa tuntutantuntutan "tugas perkembangan" yang harus dipelajari agar tidak menghambat proses perkembangan selanjutnya.
Tahapan tersebut umumnya dilalui dengan urutan yang sama bagi semua anak. Hanya, penerimaannya berbeda, ada yang lebih cepat atau lebih lambat. "Ada perbedaan-perbedaan individual antara anak dalam perkembangannya. Baik secara keseluruhan maupun aspek tertentu, seperti perkembangan intelektual, sosial, afektif, emosional," papar Tika.
Seiring tumbuh-kembangnya, anak pun "menuntut" kebebasan. Anak-anak punya hak dan kebebasan mengekspresikan rasa senang, ketakutan, marah, atau sedih. Adalah tugas orangtua untuk mengajari anak bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan baik dan terkendali.
Empati dan kebebasan tentu ada hubungannya. Terkadang, ada anak yang mengekspresikan kebebasannya dengan marah-marah. Jika orangtua tak berusaha memahami penyebabnya, si anak bisa berubah menjadi ketakutan ketika ekspresi marahnya itu ditekan atau tidak diberi kebebasan.
Nilai lain yang terselip dalam aspek kebebasan adalah rasa tanggung jawab. Tak jarang, orangtua menuruti segala keinginan anak untuk memenuhi "tuntutan" si anak atas kebebasannya itu. Begitu pula dengan dalih kasih sayang, mereka membelikan aneka mainan atau barang yang diinginkan putra- putrinya. Perilaku demikian tentu tidaklah mendidik.
"Sebaiknya orangtua menyeimbangkan antara apa yang dapat dilakukan si anak untuk dirinya sendiri dan memilih apa saja yang boleh diberikan untuk mendukung kebebasannya itu," ujar Kristin Zolten MA dari Department of Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences.
Seiring meningkatnya kebebasan, berkembang pula pemahaman anak akan tanggung jawab. Ketika dibelikan sepeda oleh orangtuanya, dia belajar bertanggung jawab menjaga sepedanya agar tidak rusak atau hilang. [okezone.com ]
loading...
No comments:
Post a Comment