“Ini upaya untuk menghancurkan satu agama hanya karena sekelompok Muslim radikal salah menginterpretasikan Syariah,” ungkap Charles Haynes, peneliti senior First Amendment Center yang berbasis di Nashville, Tennessee, mengkritik inisitaif Ketron. “(Rancangan) ini salah arah dan inkonstitusional,” katanya kepada ABC News, Kamis, seperti dimuat Onislam.net.
Rancangan tersebut menggambarkan Syariah sebagai ancaman terhadap keamanan AS, yang didasarkan atas klaim bahwa Syariah meminta pengikutnya untuk mendongkel pemerintahan AS.
“Mengikuti Syariah dan otoritas Syariah di luar negeri merupakan sebuah konspirasi terhadap doktrin dan sistem hukum, politik, dan militer,” tulis rancangan tersebut.
Penentang rancangan ini mengatakan jika rancangan tersebut lolos, maka akan membuat praktik Islam ilegal. Menurut Haynes, rancangan ini salah mendefinisikan Shariah. “Hanya sekelompok kecil Muslim yang sepakat dengan (definisi) itu.”
Kalangan Muslim memperingatkan bahwa rancangan peraturan daerah anti-Syariah tersebut akan melarang mereka mempraktekkan agamanya, seperti mengambil air wudhu sebelum sholat. “Itu berarti Muslim di Tennessee terancam dipenjara jika kedapatan melakukan wudhu di kamar mandi atau sholat,” kata Zeenan Pathan, Ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim University of Memphis. “Salah satu pilar utama agama kami adalah sholat lima waktu. Jika rancangan ini lolos, saya tak bisa sholat karena dilarang.”
Dalam Islam, Syariah mengatur segala hal tentang kehidupan Muslim, mulai dari sholat lima waktu, puasa, pernikahan, warisan, hingga masalah keuangan.
Pathan, mahasiswa tahun kedua jurusan psikologi, menyalahkan minimnya pengetahuan masyarakat akan pemahaman sebenarnya dari Syariah atas munculnya rancangan ini. “Syariah pada dasarnya adalah sistem peraturan dan hukum yang diturunkan Tuhan kepada kami, yang memandu kami dalam menjalani kehidupan. Syariah adalah panduan hidup kami.”
Menurutnya, interpretasi ekstrem dari Syariah tak dilakukan oleh mayoritas Muslim AS. “Itu (interpretasi ekstrem, seperti hukum potong tangan dan rajam) bukan sesuatu yang dijalankan secara individual. Namun harus dijalankan di sebuah Negara Islam. Itu merupakan sistem dalam komunitas,” katanya.
“(Kami) tak melakukannya. Kami telah diberikan semua kebebasan di Amerika. Mengapa kami ingin melakukannya? Tak masuk akal.”
Pendapat senada dilontarkan Jeanne Hanna, presiden Amnesty Internasional chapter University of Memphis. “Saya pikir masyarakat harus lebih terbuka dan bersedia untuk mempelajari kebudayaan dan posisi yang berbeda,” katanya. “Jika masyarakat mengerti dengan lebih baik agama orang lain, maka situasi seperti ini bisa dihindarkan.”
Menanggapi derasnya kritik, penggagas rancangan, Senator Bill Ketron, beralasan ‘bahasa’ dari rancangan tersebut masih terlalu luas. Ia mengatakan rencangan tersebut sedang direvisi sehingga tidak menghukum Muslim yang mempraktekkan tradisi beragama yang damai, yang tidak berdampak pada keselamatan dan keamanan masyarakat.
Syariah masih menjadi ketakutan bagi warga AS. Sekurangnya 13 negara bagian telah memunculkan rancangan peraturan yang melarang hakim lokal mempertimbangkan Syariah untuk membuat keputusan dalam masalah perceraian dan konflik perkawinan.
November lalu, pengadilan federal membatalkan amandemen yang akan melarang penggunaan Syariah di Oklahoma. ( republika.co.id )
No comments:
Post a Comment