Belajar Dari Kejanggalam Kasus Sofyan Tsauri - Sofyan Tsauri, polisi yang melatih dan memasok senjata kepada sekelompok pemuda yang didakwa teroris, divonis 10 tahun penjara. Benarkah dia menyesali perannya?
Lelaki bertubuh gempal dan berganis itu terdiam di kursi pesakitan. Sesaat matanya menerawang, lalu tertunduk lesu. Tak terlihat lagi sorot nyalang dari matanya, tak terdengar lagi komentar pedas yang biasa terlontar dari mulutnya saat wartawan mencegat dan mewawancarainya. Tak ada pula teriakan takbir yang biasa dilontarkan orang-orang yang dituduh seperti dirinya.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, dalam sidang di Pengadilan Negeri Depok yang diketuai hakim Dwiarso Budi, Rabu (19/1) lalu, hakim telah menjatuhkan vonis kepada laki laki bernama Sofyan Tsauri, alias Abu Ayyas, alias Marwan itu. Menurut hakim, Sofyan terbukti secara sah dan meyakinkan telah membantu dan melatih sejumlah teroris di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, tahun lalu.
Bekas polisi ini juga terbukti menjual beberapa pucuk senjata laras panjang dan laras pendek serta amunisinya, kepada jaringan teroris, dan bahkan bertransaksi langsung dengan Dulmatin--tokoh yang disebut-sebut polisi sebagai biang teroris di Indonesia pasca kematian Noordin M Top--. Majelis hakim akhirnya memvonis, “10 tahun penjara, sesuai dengan pasal 15 jo 9 UU nomor 15/2003 tentang pemberantasan teroris.”
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum Sofyan 15 tahun penjara. Maka meski terdengar aneh, Nurlan, pengacara Sofyan mengaku puas dengan vonis 10 tahun untuk kliennya. “Insya Allah tak akan banding,” ujarnya. Sofyan pun mau menerima putusan itu. “Saya ikhlas,” ujarnya seiring langkah petugas yang akan membawanya ke rumah tahanan Polda Metro Jaya, tempat dia selama ini diinapkan.
Janggal, Janggal dan Janggal
Sikap Sofyan yang cenderung tertutup, diam dan tampak menyesali perbuatannya saat menghadapi putusan itu tentu saja semakin menambah daftar pertanyaan tentang sepak terjang lelaki itu. Beberapa kejanggalan tampak bermunculan saat penahanan, pemeriksaan dan pengajuannya ke meja hijau karena tidak sinkron dan saling bertolak belakang.
Di awal persidangan, Sofyan tampak galak, keras dan berani membeberkan semua langkahnya, termasuk mengaku sebagai anggota kelompok Al-Qaidah Asia Tenggara. “Usamah bin Laden dan Dr Ayman Azzawahiri pemimpin kami,” ujarnya 23 September lalu. Anehnya, Sofyan tak menyebut kedua pentolan Al-Qaidah itu dengan takzim, meski mengaku mengikuti langkah mereka dalam memakai jalur kekerasan untuk mencapai tujuan.
Saat itu dengan blak-blakan Sofyan bernyanyi soal langkahnya bersama Dulmatin dalam menggalang berbagai faksi Islam yang bergabung di dalam kelompok mereka. “Saya bersama Dulmatin sebulan di Aceh. Berkeliling ke semua wilayah Aceh karena kita ingin mengumpulkan faksi-faksi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di sana untuk jihad. Kita cari orang GAM yang mau bertempur kembali,” ujarnya.
Namun saat sidang pleidoi, dalam pembelaannya Sofyan tiba-tiba menyangkal semua tuduhan jaksa dan menjungkirbalikkan semua keterangan yang pernah diakui dan dikatakannya kepada wartawan yang sering mewawancarainya di sela rehat persidangan. Sofyan mengaku tidak terlibat teroris, mengikuti ataupun melatih para anggota teroris di NAD, dalam rangka jihad dan serangkain gerakan teror.
Bahkan Sofyan mengelak dakwaan jaksa bahwa dirinya kenal dengan 15 orang yang direkrutnya dan juga menjadi tersangka. Menurut Sofyan, selama ini dia hanya memberikan pelatihan kepada 100 relawan untuk tujuan pembelaan kaum tertindas di Gaza, Palestina. “Tidak ada hubungan dengan aksi teror dan jihad di Indonesia,” ujarnya. Anehnya, selain di pedalaman hutan di kawasan Jantho, NAD, pelatihan itu justru digelar di lapangan Brimob Kelapa Dua.
Dengan berbagai bantahan itulah, dalam pleidoinya Sofyan menolak semua dalil jaksa yang menuntutnya dengan hukuman 15 tahun penjara. Yang menarik ia juga membandingkan tuntutannya dengan tuntutan orang lain. “Tuntutan itu terlalu berat dibandingkan sejumlah tersangka teroris lainnya yang hanya divonis di bawah 12 tahun penjara,” ujarnya.
Sejak awal Ketua Divisi Advokasi Front Pembela Islam (FPI) Munarman, telah menemukan banyak kejanggalan tentang sepak terjang Sofyan. Misalnya Munarman menemukan fakta bahwa Sofyan mulai merekrut para pemuda muslim untuk menjadi mujahidin sejak masih berdinas sebagai polisi. “Mulai Maret 2009 sampai Januari 2010 ia keliling Aceh dan Jawa,” ujarnya.
Anehnya, Sofyan selalu menawarkan uang Rp 500 juta untuk setiap pembukaan latihan kepada ustadz-ustadz setempat. Kalau ada ustadz yang mau membuka pelatihan militer, dia mau membiayai 500 juta. “Untung saja, ustadz-ustadz di Solo, di Jawa Tengah dan sekitarnya, menolak. Tetapi rupanya, ada beberapa orang berhasil dia rekrut, untuk dibawa ke pelatihan di Aceh,” ujar Munarman.
Sementara itu seorang anggota FPI yang sempat direkrut mengungkapkan bahwa mereka baru tahu Sofyan bekas polisi yang telah dipecat saat menginap di rumah Sofyan. “Saat itu sofyan seolah sengaja meninggalkan surat pemecatannya di meja agar dibaca para pemuda yang direkrutnya,” kata pemuda itu. Saat itu pula mereka dilatih menembak di lapangan tembak Brimob dan dibekali peluru 50 butir per orang setiap hari.
Keanehan pun semakin lengkap ketika pada persidangan awal Sofyan di PN Depok sama sekali tidak dijaga aparat, sementara kedatangannya dari rutan Narkoba Polda Metro Jaya tidak dikawal polisi dan terutama Densus 88. Padahal selama ini jika ada tersangka teroris kelas kakap, penjagaan pasti super-ketat, dan anggota Densus 88 bersenjata lengkap pun akan selalu berseliweran.
Sofyan pun selalu mengatakan bahwa dirinya ditangkap dengan perlawanan dan sudah sekian lama ditahan polisi. Namun anehnya hingga kini ia masih bisa berbisnis jual beli senjata mainan (air soft gun) yang dikelola anak buahnya dengan pelanggan polisi dan TNI. Padahal selama ini jika seorang kepala keluarga telah ditangkap karena didakwa terlibat kasus terorisme maka mata pencahariannya pasti akan putus.
Waspada dan Waspada
Maka kini, ketika vonis 10 tahun penjara sudah dijatuhkan, entah mengapa tidak ada ekspresi heroik dari Sofyan, apakah itu mengucap takbir, memprotes dan melontarkan banding seperti para tersangka kelas kakap lainnya seperti Ali Imron, Imam Samudera dan Amrozi. Saat vonis jatuh, ia justru terpaku dan seolah menyesali semua peran yang dilakoninya.
Lalu, apakah Sofyan menyesal karena telah terjebak oleh permainan polisi untuk justru meradikalisasi pemuda-pemuda Islam, dan kemudian menjadikan dirinya sebagai tumbal? Belum tentu juga. Yang jelas, saat ini kaum muslimin harus tetap memantau, jangan-jangan vonis untuk Sofyan hanya vonis di mulut, sementara pada kenyataannya dia bisa melenggang bebas keluar masuk penjara.
Kini, ummat pun harus semakin waspada terhadap orang-orang yang terlalu bersemangat tapi punya maksud di balik semua itu. Kini ummat tak boleh terpancing permainan intelijen yang dipakai untuk menjebak, meradikalisasi dan kemudian memberangus para aktivis muslim. ( suara-islam.com )
Cukuplah kasus Sofyan Tsauri menjadi teladannya.
Lelaki bertubuh gempal dan berganis itu terdiam di kursi pesakitan. Sesaat matanya menerawang, lalu tertunduk lesu. Tak terlihat lagi sorot nyalang dari matanya, tak terdengar lagi komentar pedas yang biasa terlontar dari mulutnya saat wartawan mencegat dan mewawancarainya. Tak ada pula teriakan takbir yang biasa dilontarkan orang-orang yang dituduh seperti dirinya.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, dalam sidang di Pengadilan Negeri Depok yang diketuai hakim Dwiarso Budi, Rabu (19/1) lalu, hakim telah menjatuhkan vonis kepada laki laki bernama Sofyan Tsauri, alias Abu Ayyas, alias Marwan itu. Menurut hakim, Sofyan terbukti secara sah dan meyakinkan telah membantu dan melatih sejumlah teroris di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, tahun lalu.
Bekas polisi ini juga terbukti menjual beberapa pucuk senjata laras panjang dan laras pendek serta amunisinya, kepada jaringan teroris, dan bahkan bertransaksi langsung dengan Dulmatin--tokoh yang disebut-sebut polisi sebagai biang teroris di Indonesia pasca kematian Noordin M Top--. Majelis hakim akhirnya memvonis, “10 tahun penjara, sesuai dengan pasal 15 jo 9 UU nomor 15/2003 tentang pemberantasan teroris.”
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum Sofyan 15 tahun penjara. Maka meski terdengar aneh, Nurlan, pengacara Sofyan mengaku puas dengan vonis 10 tahun untuk kliennya. “Insya Allah tak akan banding,” ujarnya. Sofyan pun mau menerima putusan itu. “Saya ikhlas,” ujarnya seiring langkah petugas yang akan membawanya ke rumah tahanan Polda Metro Jaya, tempat dia selama ini diinapkan.
Janggal, Janggal dan Janggal
Sikap Sofyan yang cenderung tertutup, diam dan tampak menyesali perbuatannya saat menghadapi putusan itu tentu saja semakin menambah daftar pertanyaan tentang sepak terjang lelaki itu. Beberapa kejanggalan tampak bermunculan saat penahanan, pemeriksaan dan pengajuannya ke meja hijau karena tidak sinkron dan saling bertolak belakang.
Di awal persidangan, Sofyan tampak galak, keras dan berani membeberkan semua langkahnya, termasuk mengaku sebagai anggota kelompok Al-Qaidah Asia Tenggara. “Usamah bin Laden dan Dr Ayman Azzawahiri pemimpin kami,” ujarnya 23 September lalu. Anehnya, Sofyan tak menyebut kedua pentolan Al-Qaidah itu dengan takzim, meski mengaku mengikuti langkah mereka dalam memakai jalur kekerasan untuk mencapai tujuan.
Saat itu dengan blak-blakan Sofyan bernyanyi soal langkahnya bersama Dulmatin dalam menggalang berbagai faksi Islam yang bergabung di dalam kelompok mereka. “Saya bersama Dulmatin sebulan di Aceh. Berkeliling ke semua wilayah Aceh karena kita ingin mengumpulkan faksi-faksi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di sana untuk jihad. Kita cari orang GAM yang mau bertempur kembali,” ujarnya.
Namun saat sidang pleidoi, dalam pembelaannya Sofyan tiba-tiba menyangkal semua tuduhan jaksa dan menjungkirbalikkan semua keterangan yang pernah diakui dan dikatakannya kepada wartawan yang sering mewawancarainya di sela rehat persidangan. Sofyan mengaku tidak terlibat teroris, mengikuti ataupun melatih para anggota teroris di NAD, dalam rangka jihad dan serangkain gerakan teror.
Bahkan Sofyan mengelak dakwaan jaksa bahwa dirinya kenal dengan 15 orang yang direkrutnya dan juga menjadi tersangka. Menurut Sofyan, selama ini dia hanya memberikan pelatihan kepada 100 relawan untuk tujuan pembelaan kaum tertindas di Gaza, Palestina. “Tidak ada hubungan dengan aksi teror dan jihad di Indonesia,” ujarnya. Anehnya, selain di pedalaman hutan di kawasan Jantho, NAD, pelatihan itu justru digelar di lapangan Brimob Kelapa Dua.
Dengan berbagai bantahan itulah, dalam pleidoinya Sofyan menolak semua dalil jaksa yang menuntutnya dengan hukuman 15 tahun penjara. Yang menarik ia juga membandingkan tuntutannya dengan tuntutan orang lain. “Tuntutan itu terlalu berat dibandingkan sejumlah tersangka teroris lainnya yang hanya divonis di bawah 12 tahun penjara,” ujarnya.
Sejak awal Ketua Divisi Advokasi Front Pembela Islam (FPI) Munarman, telah menemukan banyak kejanggalan tentang sepak terjang Sofyan. Misalnya Munarman menemukan fakta bahwa Sofyan mulai merekrut para pemuda muslim untuk menjadi mujahidin sejak masih berdinas sebagai polisi. “Mulai Maret 2009 sampai Januari 2010 ia keliling Aceh dan Jawa,” ujarnya.
Anehnya, Sofyan selalu menawarkan uang Rp 500 juta untuk setiap pembukaan latihan kepada ustadz-ustadz setempat. Kalau ada ustadz yang mau membuka pelatihan militer, dia mau membiayai 500 juta. “Untung saja, ustadz-ustadz di Solo, di Jawa Tengah dan sekitarnya, menolak. Tetapi rupanya, ada beberapa orang berhasil dia rekrut, untuk dibawa ke pelatihan di Aceh,” ujar Munarman.
Sementara itu seorang anggota FPI yang sempat direkrut mengungkapkan bahwa mereka baru tahu Sofyan bekas polisi yang telah dipecat saat menginap di rumah Sofyan. “Saat itu sofyan seolah sengaja meninggalkan surat pemecatannya di meja agar dibaca para pemuda yang direkrutnya,” kata pemuda itu. Saat itu pula mereka dilatih menembak di lapangan tembak Brimob dan dibekali peluru 50 butir per orang setiap hari.
Keanehan pun semakin lengkap ketika pada persidangan awal Sofyan di PN Depok sama sekali tidak dijaga aparat, sementara kedatangannya dari rutan Narkoba Polda Metro Jaya tidak dikawal polisi dan terutama Densus 88. Padahal selama ini jika ada tersangka teroris kelas kakap, penjagaan pasti super-ketat, dan anggota Densus 88 bersenjata lengkap pun akan selalu berseliweran.
Sofyan pun selalu mengatakan bahwa dirinya ditangkap dengan perlawanan dan sudah sekian lama ditahan polisi. Namun anehnya hingga kini ia masih bisa berbisnis jual beli senjata mainan (air soft gun) yang dikelola anak buahnya dengan pelanggan polisi dan TNI. Padahal selama ini jika seorang kepala keluarga telah ditangkap karena didakwa terlibat kasus terorisme maka mata pencahariannya pasti akan putus.
Waspada dan Waspada
Maka kini, ketika vonis 10 tahun penjara sudah dijatuhkan, entah mengapa tidak ada ekspresi heroik dari Sofyan, apakah itu mengucap takbir, memprotes dan melontarkan banding seperti para tersangka kelas kakap lainnya seperti Ali Imron, Imam Samudera dan Amrozi. Saat vonis jatuh, ia justru terpaku dan seolah menyesali semua peran yang dilakoninya.
Lalu, apakah Sofyan menyesal karena telah terjebak oleh permainan polisi untuk justru meradikalisasi pemuda-pemuda Islam, dan kemudian menjadikan dirinya sebagai tumbal? Belum tentu juga. Yang jelas, saat ini kaum muslimin harus tetap memantau, jangan-jangan vonis untuk Sofyan hanya vonis di mulut, sementara pada kenyataannya dia bisa melenggang bebas keluar masuk penjara.
Kini, ummat pun harus semakin waspada terhadap orang-orang yang terlalu bersemangat tapi punya maksud di balik semua itu. Kini ummat tak boleh terpancing permainan intelijen yang dipakai untuk menjebak, meradikalisasi dan kemudian memberangus para aktivis muslim. ( suara-islam.com )
Cukuplah kasus Sofyan Tsauri menjadi teladannya.
loading...
No comments:
Post a Comment