Realitas Kekerasan Di Negeri Seribu Pulau - Bukanlah demokrasi yang memerintah di dunia ini. Fakta yang lebih baik Anda benamkan di kepala Anda: dunia ini diperintah oleh kekerasan. Tapi kupikir, hal itu lebih baik tidak dikatakan. Bob Dylan
Ketika tulisan ini dibuat, dua bersaudara kandung, Korea Utara dan Selatan, untuk ke sekian kalinya tengah berhadapan dalam tensi tertinggi, siap untuk sebuah peperangan terbuka. Di balik mereka, kekuatan raksasa Amerika Serikat dan China pasang kuda-kuda, di belakang negara “binaan” mereka masing-masing, semata untuk gengsi dan kepentingan ekonomi-politik nasional mereka. Dunia pun menanti dengan cemas. Setelah bencana ekonomi, bencana teknologi, bencana alam, hingga bencana kebudayaan datang silih berganti, bencana militer (perang) –dalam skala yang lebih luas—pun kini menanti.
Kekerasan memang belakangan ini menjadi salah satu wajah terkuat dari peradaban mutakhir yang kita jalani dan bentuk saat ini. Dan negeri kepulauan, dimana nyiur melambai, senyum bertebaran, dan “tongkat kayu menjadi tanaman”, ini pun tidak dapat mengelak dari citra dan fakta yang serupa. Kekerasan dalam berbagai tingkat dan dimensinya bukan lagi menjadi renda-renda berita, namun hampir menjadi rutin dari headlines media massa kita, di semua matranya.
Apa yang membuat miris bahkan giris adalah realitas kekerasan negeri ini yang hampir tak terbayangkan, bahkan melampaui kemampuan imajiner seorang sastrawan, melampaui sejarah kekerasan itu sendiri, hampir tanpa preseden. Bagaimana Anda menerima kenyataan seperti yang dilakukan seorang anak lelaki, yang menusuk pinggang kemudian leher (dari depan) ibunya sendiri karena tidak mendapatkan uang yang diharapkan? Bagaimana kita menerima kenyataan seorang ibu yang memelintir leher bayinya sendiri yang baru saja ia lahirkan untuk kemudian ia larungkan di sebuah sungai yang pekat dengan segala racun?
Bagaimana Anda menerima seorang ayah yang menghamili anaknya sendiri hingga hamil berulangkali? Bagaimana kita menerima kenyataan seorang ibu yang dengan sadar dan teguh menuangkan berkaleng minyak tanah ke kedua anaknya yang tengah tidur lalu membakarnya? Bagaimana…? Bagaimana Anda dapat hidup, bekerja, berimajinasi, memimpikan hidup indah di masa datang, dengan kekerasan (violence) yang dibalut kekejian (cruelty), di tengah cengkeraman kebutuhan dan ancaman peradaban yang kian mencekam ini? Apakah bukan, sebenarnya, kekerasan itu tengah menghampiri Anda? Atau boleh jadi sedang tumbuh dengan perlahan di dalam hati, dalam batin kita sendiri?
Masyarakat yang Patetik
Fenomena kekerasan belakangan ini, barangkali belum pernah dialami oleh bangsa ini, setidaknya sejak masa perjuangan kemerdekaan. Kekerasan yang terjadi pada masa revolusi fisik mungkin menjadi trauma atau pengalaman heroik tersendiri. Pada masa itu –dan terlegitimasi hingga saat ini—seluruh elemen bangsa bukan hanya memaklumi, tapi juga menerima bahkan sebagian besar merasa sebagai sebuah kewajiban untuk –mau tak mau—terlibat dalam kekerasan sebuah perang. Tidak lain karena adanya sebuah alasan yang kuat dan kolektif: merebut kemerdekaan.
Namun di belakangan hari ini, alasan itu seperti lenyap, kecuali kekerasan yang terjadi karena alasan-alasan yang bersifat kriminal. Banyak kekerasan terjadi hampir tanpa diiringi oleh penjelasan yang cukup rasional dari pelakunya, kecuali semacam impuls emosional atau psikologis yang tidak dapat mereka kendalikan, yang memaksa dan mendorong mereka untuk melakukannya. Dalam kenyataannya memang bukanlah sang pelaku, terlebih korban, yang harus menjelaskan realitas apa di balik tindak kekerasan itu, yang mendorong kekerasan itu. Tapi para cendekiawan, dan terutama mereka yang bertanggungjawab pada keamanan dan kenyamanan sosiallah yang harus menjawabnya. Pelaku, korban, dan publik terlalu pepat oleh tekanan hidup untuk dituntut memberi argumentasi untuk tindakan-tindakan yang sebagian hanyalah efek atau ekses dari keadaan yang terlalu rumit untuk mereka mengerti.
Kenyataan ini pun berlaku pada sekelompok orang yang menciptakan stempel bagi dirinya sebagai pelaku kekerasan sistemik. Entah itu yang dilakukan oleh aparat pemerintah (tentara, polisi, satpol PP, dll) maupun oleh komunitas atau organisasi-organisasi massa yang memberi topeng ideologi (bisa berbentuk agama) bagi aksi kekerasan membela kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi para pemimpinnya. Semacam peristiwa terakhir, dimana kelompok yang bertameng religius menyatakan akan mengerahkan ribuan pengikutnya di bandara Tangerang hanya untuk mencegah datangnya bintang film porno, Miyabi, dari Jepang. Tindakan yang tidak mereka lakukan, saat ratusan pelacur asing masuk ke Indonesia, atau ribuan pelacur Indonesia diterbangkan ke berbagai kota juga mancanegara.
Tindak kekerasan yang sporadis itu, bukan hanya dilandasi oleh nafsu publikatif dan selebratif, dimana kekerasan kemudian menjadi konsumsi hangat dan isyu seksi yang mengangkat performa sebuah kelompok. Tapi sebenarnya juga lebih dilandasi oleh kenaifan –sebagian besar—pengikut kelompok itu akan political game dan economical impact dari tindakan-tindakan itu. Lebih mendasar lagi, tindakan tersebut juga dilandasi oleh ketidakmengertian mereka tentang kenapa kekerasan itu dengan mudah mereka lakukan, bahkan kadang hampir tanpa sebab rasional sama sekali, kecuali sekadar pelampiasan nafsu “unjuk diri”, premanisme, atau semacam “dendam sosial” yang samar bentuknya bagi mereka.
Kesamaran bentuk itu sesungguhnya muncul dari, bisa pula menghasilkan, semacam kondisi psikologis yang patetik. Kondisi kejiwaan dimana seseorang, bisa juga secara kolektif, mengalami disorientasi dan dislokasi. Sebuah état di mana seorang manusia tidak memahami dari mana dan mau kemana hidup dan dirinya harus melangkah; tidak memahami realitas juga eksistensi dirinya sendiri. Karena seluruh acuan yang selama ini dapat digenggamnya telah lumer dibenturkan oleh acuan-acuan baru yang datang seperti tsunami ke ranah personalnya, menenggelamkan individuasinya.
Pada gilirannya, situasi atau état itu akan mendorong terciptanya sebuah bangsa yang juga patetik, dalam hal tertentu skizofrenik.
Empat Kondisi Penyebab
Bagaimana realitas kemanusiaan kita sampai di situasi seperti itu, antara lain, diakibatkan oleh adanya beberapa kondisi obyektif yang berlaku di negara kita belakangan ini. Beberapa kondisi itu antara lain, pertama, kondisi ekonomi, ditandai oleh sistem dan praktik ekonomi –terserah sebutan dan julukannya—yang menempatkan setiap manusia dan publik awam dalam situasi persaingan yang hanya “sehat”, “fair” dan “bebas” dalam jargon atau retorika politik-teoritik saja. Dalam kenyataannya, persaingan itu tidaklah bebas, fair dan sehat, karena sumber-sumber utama dari ekonomi sudah lebih dulu dimiliki, didominasi dan dikangkangi secara paksa oleh segelintir orang (elit) melalui rekayasa dan manipulasi hukum dan aturan-aturan. Bahkan dapat dikatakan, ketidakadilan dan ketidakseimbangan kompetisi itu sebenarnya sudah berakar dalam premis-premis dasar dari teori dan ideologi yang melatarbelakangi sistem itu (tentu perlu kertas tersendiri untuk menjelaskan hal ini).
Kondisi ini membuat setiap insan di negeri ini (dalam jumlah yang mayoritas) sebenarnya secara logis dan sistemik sudah disingkirkan dari usaha peraihan atau perebutan kesejahteraan. Tak ada kemungkinan kompetisi sehat, fair dan bebas, di antara pedagang dengan modal Rp10 juta, Rp10 miliar dan Rp10 triliun, bukan hanya karena perbedaan mencolok dalam kuantitas modal, tapi juga kualitas jaringan, relasional, akses infrastruktur, posisi tawar pada kebijakan dan sebagainya yang sangat timpang. Akhirnya, manusia umum memang harus mengambil posisi hanya sebagai obyek dari nafsu kapital pemilik modal besar; kemiskinan pun jadi sistemik bahkan sebagian dirasakan taken for granted.
Di titik inilah tragedi itu terjadi. Sebagai produsen, manusia dilumpuhkan, namun sebagai konsumen ia dieksploatasi dengan penciptaan kebutuhan hidup yang luar biasa dahsyatnya, luar biasa menggiurkannya, sehingga ia menjadi ukuran atau acuan tetap bagi gengsi, prestise bahkan eksistensi. Konflik di luar pun menjadi konflik di dalam diri manusia, ketika kemampuan semakin tertinggal oleh kebutuhan. Frustrasi yang timbul kian mencekat dan membuat setiap manusia didesak untuk berbuat menyimpang bahkan jahat, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang telah dikonstruksi para subyek.
Kedua, kondisi sosial, belakangan ini juga ditandai oleh semacam frustrasi yang akut, ketika masyarakat mengetahui hidup ekonomis mereka sudah ditaklukan dan tereksploatasi habis-habisan di atas harus dihadapkan lagi dengan realitas sosial yang sama sekali tidak mendukung, bahkan justru menelikung. Berbagai tatanan sosial yang secara tradisional sebenarnya tangguh bertahan selama ratusan tahun, kini perlahan remuk oleh tatanan baru yang sesungguhnya rapuh karena ia virtual dan artifisial.
Hidup sosial semakian membuat manusia merasa sendiri, ketika semua orang cenderung membela kepentingannya masing-masing, dan semakin tak mampu berbuat untuk orang lain. Sementara pihak-pihak yang selama ini dapat menjadi gantungan moral atau material juga ternyata sudah menepiskan diri. Para pemimpin formal dan informal, negara dan aparatusnya malah justru memperdaya nasib dan hidup rakyat alih-alih melindungi dan berusaha mengupayakan kesejahteraan.
Itulah kondisi ketiga, kondisi hukum yang ditandai oleh semakin luas dan dalamnya penyimpangan yang dilakukan justru oleh mereka yang seharusnya mengoperasikan dan menjadi keberlangsungan supremasi hukum. Para pejabat hukum berkonspirasi hanya untuk menipu kepentingan publik demi kepentingan (golongan) mereka sendiri. Atas nama hukum mereka menghisap jatah rizki masyarakat, mengooptasi sumber-sumber daya utamanya, dan mengorbankan rakyat sebagai obyek atau budak dari nafsu-nafsu dunia dan primitif mereka. Sebuah kondisi yang membuat sekoci hidup masyarakat bukan hanya terancam badai hebat tapi juga kehilangan harapan untuk diselamatkan.
Pada saat yang bersamaan, kondisi politik, sebagai hal keempat menempatkan rakyat pada keputusasaan yang holistik ketika mereka mendapatkan pemerintah yang mereka pilih sendiri, ternyata lebih sibuk mengurusi ambisi permanensi kekuasaan mereka. Permainan jahat yang terjadi di lingkaran kekuasaan membuat pemerintahan politik kehilangan kemampuan untuk melaksanakan tanggungjawab utamanya: mengurus negara, menjamin keamanan dan kesejahteraan warganya. Segala bidang kehidupan terasa hambar karena pemerintah gagal mengurusnya, tidak berhasil menyelesaikan substansi-substansi persoalan di semua bidang pemerintahan dan secara kontradiktif mereka melakukan klaim tiada habisnya pada sukses-sukses artifisial dan superfisial yang ditandai oleh angka, statistik atau parameter material yang menjemukan.
Semua kondisi di atas berkelindan hampir secara ajaib dan tak terelakkan, menciptakan sebuah realitas baru yang dalam kemampuan manusia rata-rata (awam) sangat sulit bahkan tidak mungkin dapat dikonstitusikan. Realitas itu hablur bersama dengan kenyataan-kenyataan virtual yang tiada hentinya disodorkan sampai di piring sarapan hingga selimut untuk kita tidur. Manusia pun tenggelam dalam mimpi dari dunia bawah sadar yang khaos, menciptakan imaji-imaji ganjil, gairah dan hasrat yang primitif dan kadang tak terkenali, dan impuls-impuls emosional hingga spiritual yang tak terkendali.
Kekerasan Menjadi Adab
Di tahap kehidupan seperti inilah, kekerasan pun mengambil peran dan bentuknya, sebagai sebuah pelampiasan dan pelarian yang paling mungkin dari frustrasi yang akut, hidup yang tak terjelaskan, dan imaji yang ganjil itu. Kekerasan sebagai sebuah bentuk ekspresi individu atau masyarakat yang patetik pun menjadi konsekuensi logis dari kerasnya hidup yang didera kebutuhan hebat dan ancaman pekat, serta akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh negara (cq pemerintah dan aparatusnya) yang melakukan pembiaran serta kecerobohan serta kesemberonoan dalam pelaksanaan tanggungjawabnya.
Kekerasan itu juga sebuah konsekuensi tak terhindarkan kompetisi dan pertarungan yang kejam dalam ranah politik, ekonomi dan hukum, dimana kekuat(s)an menjadi variabel utama untuk memenangkannya, menjadi pihak yang mendominasi. Pertarungan kekuasaan sebagai bentuk baru dari survival of the fittest lebih mendorong setiap pihak untuk menaklukan, mendominasi dan mengooptasi pihak lain, bukan untuk bekerjasama dan melahirkan harmoni. Sampai di tingkat terkecil, ketika kekuasaan dan kekuatan seseorang begitu minimnya, kekerasan pun dilakukan pada kerabat atau keluarga yang paling lemah: saudara, istri, bahkan anaknya sendiri. Hingga pada taraf ketika tak ada lagi pihak yang lebih lemah dari dirinya, seseorang akan melakukan kekerasan itu pada dirinya sendiri. Bunuh diri adalah salah pengejawantahannya.
Kekerasan pun kemudian menjadi adab tersendiri, menjadi sebuah pilihan kultural yang negatif. Kebudayaan yang pada mulanya adalah sebuah perjuangan manusia untuk mencapai kemuliaannya, menciptakan kemajuan hidup yang positif, kini bergeser menjadi semacam ketakutan yang mencekam terhadap hidup itu sendiri. Kecemasan manusia, secara sosial, emosional dan spiritual yang dahulu ditujukan pada kematian, kini berbalik menjadi ketakutan akut pada kehidupan sendiri. Dan kematian bukan lagi sebuah momok atau hal yang mengerikan, bahkan cenderung menjadi sebauh jalan eskapik yang paling mungkin atau malah justru diinginkan.
Tak ada jalan lain untuk keluar dari situasi ini, kecuali melakukan terapi psikologis secara habis-habisan dan massif. Bukan hanya pada tingkat personal, tapi lebih tepat secara nasional, bahkan kebudayaan itu sendiri yang harus diterapi. Dan untuk terapi semacam ini, tidak ada lagi perangkat yang lebih baik kecuali kebudayaan itu sendiri yang harus digunakan. Bila di pihak pertama adalah kebudayaan negatif makan di bagian terapinya adalah kebudayaan positif.
Apa yang sangat menarik dari usaha ini adalah, kebudayaan positif itu tidaklah datang dan ada di luar diri kita, di luar tanah dan air kita, yang ternyata terbukti menjadi stimulus dari semua kondisi menggiriskan di atas. Kebudayaan positif itu ada dalam diri kita sendiri, dalam sejarah kita, dalam alam dan relasi-relasi yang terjadi di antaranya. Kebudayaan yang sebenarnya sudah dikreasi, dipertahankan, diwariskan dan dikembangkan selama lebih dari tiga ribu tahun di negeri ini. Kebudayaan yang kita sendiri tahu bahwa di situlah sebenarnya tempat muasal semua acuan kita. Tempat paling primodial dimana semua manusia Indonesia ingin kembali, bertaut dan menegaskan eksistensinya.
Kebudayaan seperti apakah itu? Kebudayaan yang terpapar dalam buku-buku teks sekolahan atau penjelasan-penjalasan pseudo-ilmiah para peneliti luar negeri? Tentu saja bukan. Tentu saja bukan. Bagaimana jelasnya? Kertas ini membutuhkan lembaran yang lebih panjang lagi. Tentu saja. ( metrotvnews.com )
Ketika tulisan ini dibuat, dua bersaudara kandung, Korea Utara dan Selatan, untuk ke sekian kalinya tengah berhadapan dalam tensi tertinggi, siap untuk sebuah peperangan terbuka. Di balik mereka, kekuatan raksasa Amerika Serikat dan China pasang kuda-kuda, di belakang negara “binaan” mereka masing-masing, semata untuk gengsi dan kepentingan ekonomi-politik nasional mereka. Dunia pun menanti dengan cemas. Setelah bencana ekonomi, bencana teknologi, bencana alam, hingga bencana kebudayaan datang silih berganti, bencana militer (perang) –dalam skala yang lebih luas—pun kini menanti.
Kekerasan memang belakangan ini menjadi salah satu wajah terkuat dari peradaban mutakhir yang kita jalani dan bentuk saat ini. Dan negeri kepulauan, dimana nyiur melambai, senyum bertebaran, dan “tongkat kayu menjadi tanaman”, ini pun tidak dapat mengelak dari citra dan fakta yang serupa. Kekerasan dalam berbagai tingkat dan dimensinya bukan lagi menjadi renda-renda berita, namun hampir menjadi rutin dari headlines media massa kita, di semua matranya.
Apa yang membuat miris bahkan giris adalah realitas kekerasan negeri ini yang hampir tak terbayangkan, bahkan melampaui kemampuan imajiner seorang sastrawan, melampaui sejarah kekerasan itu sendiri, hampir tanpa preseden. Bagaimana Anda menerima kenyataan seperti yang dilakukan seorang anak lelaki, yang menusuk pinggang kemudian leher (dari depan) ibunya sendiri karena tidak mendapatkan uang yang diharapkan? Bagaimana kita menerima kenyataan seorang ibu yang memelintir leher bayinya sendiri yang baru saja ia lahirkan untuk kemudian ia larungkan di sebuah sungai yang pekat dengan segala racun?
Bagaimana Anda menerima seorang ayah yang menghamili anaknya sendiri hingga hamil berulangkali? Bagaimana kita menerima kenyataan seorang ibu yang dengan sadar dan teguh menuangkan berkaleng minyak tanah ke kedua anaknya yang tengah tidur lalu membakarnya? Bagaimana…? Bagaimana Anda dapat hidup, bekerja, berimajinasi, memimpikan hidup indah di masa datang, dengan kekerasan (violence) yang dibalut kekejian (cruelty), di tengah cengkeraman kebutuhan dan ancaman peradaban yang kian mencekam ini? Apakah bukan, sebenarnya, kekerasan itu tengah menghampiri Anda? Atau boleh jadi sedang tumbuh dengan perlahan di dalam hati, dalam batin kita sendiri?
Masyarakat yang Patetik
Fenomena kekerasan belakangan ini, barangkali belum pernah dialami oleh bangsa ini, setidaknya sejak masa perjuangan kemerdekaan. Kekerasan yang terjadi pada masa revolusi fisik mungkin menjadi trauma atau pengalaman heroik tersendiri. Pada masa itu –dan terlegitimasi hingga saat ini—seluruh elemen bangsa bukan hanya memaklumi, tapi juga menerima bahkan sebagian besar merasa sebagai sebuah kewajiban untuk –mau tak mau—terlibat dalam kekerasan sebuah perang. Tidak lain karena adanya sebuah alasan yang kuat dan kolektif: merebut kemerdekaan.
Namun di belakangan hari ini, alasan itu seperti lenyap, kecuali kekerasan yang terjadi karena alasan-alasan yang bersifat kriminal. Banyak kekerasan terjadi hampir tanpa diiringi oleh penjelasan yang cukup rasional dari pelakunya, kecuali semacam impuls emosional atau psikologis yang tidak dapat mereka kendalikan, yang memaksa dan mendorong mereka untuk melakukannya. Dalam kenyataannya memang bukanlah sang pelaku, terlebih korban, yang harus menjelaskan realitas apa di balik tindak kekerasan itu, yang mendorong kekerasan itu. Tapi para cendekiawan, dan terutama mereka yang bertanggungjawab pada keamanan dan kenyamanan sosiallah yang harus menjawabnya. Pelaku, korban, dan publik terlalu pepat oleh tekanan hidup untuk dituntut memberi argumentasi untuk tindakan-tindakan yang sebagian hanyalah efek atau ekses dari keadaan yang terlalu rumit untuk mereka mengerti.
Kenyataan ini pun berlaku pada sekelompok orang yang menciptakan stempel bagi dirinya sebagai pelaku kekerasan sistemik. Entah itu yang dilakukan oleh aparat pemerintah (tentara, polisi, satpol PP, dll) maupun oleh komunitas atau organisasi-organisasi massa yang memberi topeng ideologi (bisa berbentuk agama) bagi aksi kekerasan membela kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi para pemimpinnya. Semacam peristiwa terakhir, dimana kelompok yang bertameng religius menyatakan akan mengerahkan ribuan pengikutnya di bandara Tangerang hanya untuk mencegah datangnya bintang film porno, Miyabi, dari Jepang. Tindakan yang tidak mereka lakukan, saat ratusan pelacur asing masuk ke Indonesia, atau ribuan pelacur Indonesia diterbangkan ke berbagai kota juga mancanegara.
Tindak kekerasan yang sporadis itu, bukan hanya dilandasi oleh nafsu publikatif dan selebratif, dimana kekerasan kemudian menjadi konsumsi hangat dan isyu seksi yang mengangkat performa sebuah kelompok. Tapi sebenarnya juga lebih dilandasi oleh kenaifan –sebagian besar—pengikut kelompok itu akan political game dan economical impact dari tindakan-tindakan itu. Lebih mendasar lagi, tindakan tersebut juga dilandasi oleh ketidakmengertian mereka tentang kenapa kekerasan itu dengan mudah mereka lakukan, bahkan kadang hampir tanpa sebab rasional sama sekali, kecuali sekadar pelampiasan nafsu “unjuk diri”, premanisme, atau semacam “dendam sosial” yang samar bentuknya bagi mereka.
Kesamaran bentuk itu sesungguhnya muncul dari, bisa pula menghasilkan, semacam kondisi psikologis yang patetik. Kondisi kejiwaan dimana seseorang, bisa juga secara kolektif, mengalami disorientasi dan dislokasi. Sebuah état di mana seorang manusia tidak memahami dari mana dan mau kemana hidup dan dirinya harus melangkah; tidak memahami realitas juga eksistensi dirinya sendiri. Karena seluruh acuan yang selama ini dapat digenggamnya telah lumer dibenturkan oleh acuan-acuan baru yang datang seperti tsunami ke ranah personalnya, menenggelamkan individuasinya.
Pada gilirannya, situasi atau état itu akan mendorong terciptanya sebuah bangsa yang juga patetik, dalam hal tertentu skizofrenik.
Empat Kondisi Penyebab
Bagaimana realitas kemanusiaan kita sampai di situasi seperti itu, antara lain, diakibatkan oleh adanya beberapa kondisi obyektif yang berlaku di negara kita belakangan ini. Beberapa kondisi itu antara lain, pertama, kondisi ekonomi, ditandai oleh sistem dan praktik ekonomi –terserah sebutan dan julukannya—yang menempatkan setiap manusia dan publik awam dalam situasi persaingan yang hanya “sehat”, “fair” dan “bebas” dalam jargon atau retorika politik-teoritik saja. Dalam kenyataannya, persaingan itu tidaklah bebas, fair dan sehat, karena sumber-sumber utama dari ekonomi sudah lebih dulu dimiliki, didominasi dan dikangkangi secara paksa oleh segelintir orang (elit) melalui rekayasa dan manipulasi hukum dan aturan-aturan. Bahkan dapat dikatakan, ketidakadilan dan ketidakseimbangan kompetisi itu sebenarnya sudah berakar dalam premis-premis dasar dari teori dan ideologi yang melatarbelakangi sistem itu (tentu perlu kertas tersendiri untuk menjelaskan hal ini).
Kondisi ini membuat setiap insan di negeri ini (dalam jumlah yang mayoritas) sebenarnya secara logis dan sistemik sudah disingkirkan dari usaha peraihan atau perebutan kesejahteraan. Tak ada kemungkinan kompetisi sehat, fair dan bebas, di antara pedagang dengan modal Rp10 juta, Rp10 miliar dan Rp10 triliun, bukan hanya karena perbedaan mencolok dalam kuantitas modal, tapi juga kualitas jaringan, relasional, akses infrastruktur, posisi tawar pada kebijakan dan sebagainya yang sangat timpang. Akhirnya, manusia umum memang harus mengambil posisi hanya sebagai obyek dari nafsu kapital pemilik modal besar; kemiskinan pun jadi sistemik bahkan sebagian dirasakan taken for granted.
Di titik inilah tragedi itu terjadi. Sebagai produsen, manusia dilumpuhkan, namun sebagai konsumen ia dieksploatasi dengan penciptaan kebutuhan hidup yang luar biasa dahsyatnya, luar biasa menggiurkannya, sehingga ia menjadi ukuran atau acuan tetap bagi gengsi, prestise bahkan eksistensi. Konflik di luar pun menjadi konflik di dalam diri manusia, ketika kemampuan semakin tertinggal oleh kebutuhan. Frustrasi yang timbul kian mencekat dan membuat setiap manusia didesak untuk berbuat menyimpang bahkan jahat, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang telah dikonstruksi para subyek.
Kedua, kondisi sosial, belakangan ini juga ditandai oleh semacam frustrasi yang akut, ketika masyarakat mengetahui hidup ekonomis mereka sudah ditaklukan dan tereksploatasi habis-habisan di atas harus dihadapkan lagi dengan realitas sosial yang sama sekali tidak mendukung, bahkan justru menelikung. Berbagai tatanan sosial yang secara tradisional sebenarnya tangguh bertahan selama ratusan tahun, kini perlahan remuk oleh tatanan baru yang sesungguhnya rapuh karena ia virtual dan artifisial.
Hidup sosial semakian membuat manusia merasa sendiri, ketika semua orang cenderung membela kepentingannya masing-masing, dan semakin tak mampu berbuat untuk orang lain. Sementara pihak-pihak yang selama ini dapat menjadi gantungan moral atau material juga ternyata sudah menepiskan diri. Para pemimpin formal dan informal, negara dan aparatusnya malah justru memperdaya nasib dan hidup rakyat alih-alih melindungi dan berusaha mengupayakan kesejahteraan.
Itulah kondisi ketiga, kondisi hukum yang ditandai oleh semakin luas dan dalamnya penyimpangan yang dilakukan justru oleh mereka yang seharusnya mengoperasikan dan menjadi keberlangsungan supremasi hukum. Para pejabat hukum berkonspirasi hanya untuk menipu kepentingan publik demi kepentingan (golongan) mereka sendiri. Atas nama hukum mereka menghisap jatah rizki masyarakat, mengooptasi sumber-sumber daya utamanya, dan mengorbankan rakyat sebagai obyek atau budak dari nafsu-nafsu dunia dan primitif mereka. Sebuah kondisi yang membuat sekoci hidup masyarakat bukan hanya terancam badai hebat tapi juga kehilangan harapan untuk diselamatkan.
Pada saat yang bersamaan, kondisi politik, sebagai hal keempat menempatkan rakyat pada keputusasaan yang holistik ketika mereka mendapatkan pemerintah yang mereka pilih sendiri, ternyata lebih sibuk mengurusi ambisi permanensi kekuasaan mereka. Permainan jahat yang terjadi di lingkaran kekuasaan membuat pemerintahan politik kehilangan kemampuan untuk melaksanakan tanggungjawab utamanya: mengurus negara, menjamin keamanan dan kesejahteraan warganya. Segala bidang kehidupan terasa hambar karena pemerintah gagal mengurusnya, tidak berhasil menyelesaikan substansi-substansi persoalan di semua bidang pemerintahan dan secara kontradiktif mereka melakukan klaim tiada habisnya pada sukses-sukses artifisial dan superfisial yang ditandai oleh angka, statistik atau parameter material yang menjemukan.
Semua kondisi di atas berkelindan hampir secara ajaib dan tak terelakkan, menciptakan sebuah realitas baru yang dalam kemampuan manusia rata-rata (awam) sangat sulit bahkan tidak mungkin dapat dikonstitusikan. Realitas itu hablur bersama dengan kenyataan-kenyataan virtual yang tiada hentinya disodorkan sampai di piring sarapan hingga selimut untuk kita tidur. Manusia pun tenggelam dalam mimpi dari dunia bawah sadar yang khaos, menciptakan imaji-imaji ganjil, gairah dan hasrat yang primitif dan kadang tak terkenali, dan impuls-impuls emosional hingga spiritual yang tak terkendali.
Kekerasan Menjadi Adab
Di tahap kehidupan seperti inilah, kekerasan pun mengambil peran dan bentuknya, sebagai sebuah pelampiasan dan pelarian yang paling mungkin dari frustrasi yang akut, hidup yang tak terjelaskan, dan imaji yang ganjil itu. Kekerasan sebagai sebuah bentuk ekspresi individu atau masyarakat yang patetik pun menjadi konsekuensi logis dari kerasnya hidup yang didera kebutuhan hebat dan ancaman pekat, serta akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh negara (cq pemerintah dan aparatusnya) yang melakukan pembiaran serta kecerobohan serta kesemberonoan dalam pelaksanaan tanggungjawabnya.
Kekerasan itu juga sebuah konsekuensi tak terhindarkan kompetisi dan pertarungan yang kejam dalam ranah politik, ekonomi dan hukum, dimana kekuat(s)an menjadi variabel utama untuk memenangkannya, menjadi pihak yang mendominasi. Pertarungan kekuasaan sebagai bentuk baru dari survival of the fittest lebih mendorong setiap pihak untuk menaklukan, mendominasi dan mengooptasi pihak lain, bukan untuk bekerjasama dan melahirkan harmoni. Sampai di tingkat terkecil, ketika kekuasaan dan kekuatan seseorang begitu minimnya, kekerasan pun dilakukan pada kerabat atau keluarga yang paling lemah: saudara, istri, bahkan anaknya sendiri. Hingga pada taraf ketika tak ada lagi pihak yang lebih lemah dari dirinya, seseorang akan melakukan kekerasan itu pada dirinya sendiri. Bunuh diri adalah salah pengejawantahannya.
Kekerasan pun kemudian menjadi adab tersendiri, menjadi sebuah pilihan kultural yang negatif. Kebudayaan yang pada mulanya adalah sebuah perjuangan manusia untuk mencapai kemuliaannya, menciptakan kemajuan hidup yang positif, kini bergeser menjadi semacam ketakutan yang mencekam terhadap hidup itu sendiri. Kecemasan manusia, secara sosial, emosional dan spiritual yang dahulu ditujukan pada kematian, kini berbalik menjadi ketakutan akut pada kehidupan sendiri. Dan kematian bukan lagi sebuah momok atau hal yang mengerikan, bahkan cenderung menjadi sebauh jalan eskapik yang paling mungkin atau malah justru diinginkan.
Tak ada jalan lain untuk keluar dari situasi ini, kecuali melakukan terapi psikologis secara habis-habisan dan massif. Bukan hanya pada tingkat personal, tapi lebih tepat secara nasional, bahkan kebudayaan itu sendiri yang harus diterapi. Dan untuk terapi semacam ini, tidak ada lagi perangkat yang lebih baik kecuali kebudayaan itu sendiri yang harus digunakan. Bila di pihak pertama adalah kebudayaan negatif makan di bagian terapinya adalah kebudayaan positif.
Apa yang sangat menarik dari usaha ini adalah, kebudayaan positif itu tidaklah datang dan ada di luar diri kita, di luar tanah dan air kita, yang ternyata terbukti menjadi stimulus dari semua kondisi menggiriskan di atas. Kebudayaan positif itu ada dalam diri kita sendiri, dalam sejarah kita, dalam alam dan relasi-relasi yang terjadi di antaranya. Kebudayaan yang sebenarnya sudah dikreasi, dipertahankan, diwariskan dan dikembangkan selama lebih dari tiga ribu tahun di negeri ini. Kebudayaan yang kita sendiri tahu bahwa di situlah sebenarnya tempat muasal semua acuan kita. Tempat paling primodial dimana semua manusia Indonesia ingin kembali, bertaut dan menegaskan eksistensinya.
Kebudayaan seperti apakah itu? Kebudayaan yang terpapar dalam buku-buku teks sekolahan atau penjelasan-penjalasan pseudo-ilmiah para peneliti luar negeri? Tentu saja bukan. Tentu saja bukan. Bagaimana jelasnya? Kertas ini membutuhkan lembaran yang lebih panjang lagi. Tentu saja. ( metrotvnews.com )
loading...
No comments:
Post a Comment