Hebat nian Gayus Tambunan. Untuk menuntaskan perkara pegawai kecil di Direktorat Jenderal Pajak itu, dibutuhkan 12 instruksi presiden. Banyak apresiasi di satu sisi atas kebijakan cepat itu, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap 12 butir inpres Gayus tidaklah luar biasa.
Padahal inpres Gayus adalah tanggapan yang dinanti-nanti khalayak atas kritikan keras dari sejumlah tokoh agama terhadap jurang yang amat lebar antara apa yang diucapkan pemerintah dan apa yang dikerjakan selama ini. Pemerintah, terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tersinggung berat ketika para tokoh agama menyebut jurang itu sebagai pembohongan publik.
Karena itu, dua langkah diambil sekaligus dalam hari yang sama oleh Presiden Yudhoyono. Ia mengeluarkan 12 inpres seputar kasus Gayus dan bertemu tokoh agama pada malam harinya di Istana Negara.
Kita tidak ingin memperpanjang perdebatan semantik tentang kata bohong. Pertemuan SBY dengan para pengkritiknya adalah sebuah bentuk kesediaan dialog yang baik, walaupun banyak yang kecewa karena tidak menyentuh substansi secara menukik. Kita justru ingin menyoroti lebih jauh 12 butir inpres Gayus.
Dari 12 butir inpres itu, setidaknya hanya dua perkara yang tergolong baru. Dua hal itu perintah penggunaan metode pembuktian terbalik dan penunjukan Wakil Presiden Boediono sebagai pengawas.
Sepuluh butir lain adalah keharusan-keharusan yang normal saja bagi manajemen kenegaraan yang wajar di sebuah negara hukum. Koordinasi, evaluasi, pelaporan, transparansi ke hadapan publik, dan kontrol adalah prinsip-prinsip tata kelola yang tidak baru.
Namun, justru menjadi soal ketika keharusan-keharusan normatif sebuah tata kelola negara harus dipertegas sebuah inpres yang bernuansa kegawatan. Itu menjelaskan bahwa dalam tata kelola negara telah terjadi penyimpangan serius terhadap prinsip-prinsip manajemen sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Soal Gayus, misalnya. Bukan sekali ini saja SBY menginstruksikan kepolisian dan kejaksaan mengusut tuntas kasus yang berbalut mafia perpajakan dan mafia peradilan itu. Ketika Presiden mengeluarkan inpres untuk kesekian kali terhadap penyelesaian kasus yang sama, berarti ada sesuatu yang tidak jalan.
Itu berarti sebuah tamparan serius terhadap kepemimpinan SBY sendiri kalau birokrasi tidak bergerak sesuai yang diperintahkan. Apalagi kepolisian dan kejaksaan adalah dua institusi vital dalam penegakan hukum yang berada langsung di bawah kontrol Presiden.
Mudah-mudahan inpres Gayus yang 12 butir itu berjalan. Bila tidak, SBY harus mengartikan telah terjadi pembangkangan institusional. Itu sekaligus menjelaskan bahwa institusi penegak hukum sudah terbelit mafia yang hendak diperangi tersebut.
Banyak yang berharap SBY memerintahkan agar kasus Gayus diambil alih oleh KPK. Namun, itu ternyata tidak terjadi. Penunjukan Wapres Boediono sebagai penanggung jawab pengawasan inpres itu pun membuka benturan kepentingan baru. Salah satu yang juga ditugaskan adalah penuntasan kasus Century yang di dalamnya Boediono dituduh terlibat. ( mediaindonesia.com )
Padahal inpres Gayus adalah tanggapan yang dinanti-nanti khalayak atas kritikan keras dari sejumlah tokoh agama terhadap jurang yang amat lebar antara apa yang diucapkan pemerintah dan apa yang dikerjakan selama ini. Pemerintah, terutama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tersinggung berat ketika para tokoh agama menyebut jurang itu sebagai pembohongan publik.
Karena itu, dua langkah diambil sekaligus dalam hari yang sama oleh Presiden Yudhoyono. Ia mengeluarkan 12 inpres seputar kasus Gayus dan bertemu tokoh agama pada malam harinya di Istana Negara.
Kita tidak ingin memperpanjang perdebatan semantik tentang kata bohong. Pertemuan SBY dengan para pengkritiknya adalah sebuah bentuk kesediaan dialog yang baik, walaupun banyak yang kecewa karena tidak menyentuh substansi secara menukik. Kita justru ingin menyoroti lebih jauh 12 butir inpres Gayus.
Dari 12 butir inpres itu, setidaknya hanya dua perkara yang tergolong baru. Dua hal itu perintah penggunaan metode pembuktian terbalik dan penunjukan Wakil Presiden Boediono sebagai pengawas.
Sepuluh butir lain adalah keharusan-keharusan yang normal saja bagi manajemen kenegaraan yang wajar di sebuah negara hukum. Koordinasi, evaluasi, pelaporan, transparansi ke hadapan publik, dan kontrol adalah prinsip-prinsip tata kelola yang tidak baru.
Namun, justru menjadi soal ketika keharusan-keharusan normatif sebuah tata kelola negara harus dipertegas sebuah inpres yang bernuansa kegawatan. Itu menjelaskan bahwa dalam tata kelola negara telah terjadi penyimpangan serius terhadap prinsip-prinsip manajemen sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Soal Gayus, misalnya. Bukan sekali ini saja SBY menginstruksikan kepolisian dan kejaksaan mengusut tuntas kasus yang berbalut mafia perpajakan dan mafia peradilan itu. Ketika Presiden mengeluarkan inpres untuk kesekian kali terhadap penyelesaian kasus yang sama, berarti ada sesuatu yang tidak jalan.
Itu berarti sebuah tamparan serius terhadap kepemimpinan SBY sendiri kalau birokrasi tidak bergerak sesuai yang diperintahkan. Apalagi kepolisian dan kejaksaan adalah dua institusi vital dalam penegakan hukum yang berada langsung di bawah kontrol Presiden.
Mudah-mudahan inpres Gayus yang 12 butir itu berjalan. Bila tidak, SBY harus mengartikan telah terjadi pembangkangan institusional. Itu sekaligus menjelaskan bahwa institusi penegak hukum sudah terbelit mafia yang hendak diperangi tersebut.
Banyak yang berharap SBY memerintahkan agar kasus Gayus diambil alih oleh KPK. Namun, itu ternyata tidak terjadi. Penunjukan Wapres Boediono sebagai penanggung jawab pengawasan inpres itu pun membuka benturan kepentingan baru. Salah satu yang juga ditugaskan adalah penuntasan kasus Century yang di dalamnya Boediono dituduh terlibat. ( mediaindonesia.com )
loading...
No comments:
Post a Comment