Menyigi Kepentingan Asing Dibalik Pembatasan BBM Bersubsidi - Rakyat dipaksa beralih dari Premium ke Pertamax. Pertamina dipaksa bersaing dengan Perusahaan Asing
Meski resto ‘’Dapue Aceh’’ tutup, SPBU Petronas di Cireundeu, Pamulang, Tangerang Selatan, tetap bertahan. Stasiun Pengisian BBM Umum milik Malaysia itu tetap siaga melayani pembeli walau sunyi senyap sejak dibuka dua tahun lalu. Sampai-sampai warung Aceh yang melengkapinya gulung tikar.
Tak hanya SPBU Petronas Cireundeu yang tampak mengenaskan. Keseluruhan dari 45 SPBU jiran ini sami mawon. Bahkan juga SPBU Asing lain yaitu Shell (Belanda) yang berjumlah 19 outlet dan Total Oil (Prancis) 5 outlet, semuanya bagai terasing dari perdagangan BBM di hilir. Toh, mereka semua bertahan.
Bukan tanpa perhitungan SPBU Asing terus melaju walau tekor duluan. Mulai tahun 2011, mereka bakal mulai panen. Ini setelah pemerintah membatasi penjualan premium, yang disebut dengan istilah ‘’BBM Bersubsidi’’.
Menurut pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, kebijakan itu merupakan bagian dari enam indikasi bakal naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Indikasi kedua, pemerintah sudah membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), padahal belum waktunya. Ini maksudnya untuk menetapkan harga minyak dunia. Ketiga, pemerintah belum memperbaiki Undang-undang Migas seperti permintaan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini dikhawatirkan menghambat ruang gerak menaikkan harga BBM.
Keempat, pemerintah belum melaksanakan rekomendasi Pansus BBM DPR. Kalau ini dilakukan bisa menghambat kenaikan harga BMM. Kelima, analisis dan kepekaan yang dibuat pemerintah terkait BBM juga tidak jelas. Misalnya bagaimana jika harga minyak naik, subsidi yang akan digunakan berapa dan kenaikan inflasinya bagaimana. Keenam, batas atas cost recovery dihapus.
‘’Ini memperlihatkan pemerintah sudah didikte asing agar subsidi BBM dihapus,’’ tandas Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) itu.
Ia menambahkan, "Dengan kondisi seperti ini rakyat sudah menderita. Apalagi kalau sampai harga BBM naik dengan mencabut subsidi, tentu semakin sengsara lagi.’’
Menurut Sekretaris Eksekutif Goverment Watch (Gowa), Andi W Syahputra, wacana pelarangan sepeda motor menggunakan BBM bersubsidi merupakan salah satu agenda kapitalisasi di bidang migas. "Rakyat dipaksa untuk beralih ke BBM yang tidak disubsidi, karena ke depannya mereka akan melepaskan harga BBM ke pasar," ujarnya.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro tujuh tahu silam. Seperti dikutip Kompas, edisi 14 Mei 2003, waktu itu Purnomo menuturkan, “’Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
Selanjutnya, mengutip pernyataan Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, di Trust, edisi 11/2004, terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Perusahaan migas raksasa itu antara lain British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pembatasan tadi hanya akan menguntungkan sebagian pihak. PT Pertamina misalnya, sebagai pemasar BBM bersubsidi bakal kehilangan omset konsumen premium. Sebab, belum tentu pengguna premium beralih ke Pertamax. Bisa saja mereka membeli BBM di SPBU Shell, Petronas, maupun Total. "Ini sudah menjadi risiko pasar BBM yang terbuka," katanya.
Hal itu diakui Pertamina. “Pertamina mengakui ada konsekuensi binsis atas pemberlakuan pembatasan BBM Subsidi yang akan menguntungkan SPBU-SPBU asing,” jelas VP Corporate Communications Pertamina, Mochamad Harun dalam acara Olimpiade Science Nasional Pertamina di Universitas Indonesia, Depok, Senin (27/9/2010).
Pakar perminyakan Kurtubi membenarkan, kalau subsidi BBM dicabut berarti harga premium naik. Ini tentu memberatkan masyarakat. Padahal, lanjutnya, di dunia ini ada 20 negara yang menerapkan kebijakan subsidi BBM. Empat negara lain seperti China, India, Brasil, dan Rusia memberikan subsidi untuk menjaga perekonomian masyarakatnya.
Kurtubi juga mengingatkan, dasar hukum pemerintah memberlakukan pencabutan dan pembatasan BBM, ilegal. Sebab, Undang-undang MigBl nomor 22/2001 itu sudah direkomedasikan Pansus BBM untuk dicabut karena bermasalah. Namun, pemerintah belum mencabutnya.
Menurut Abdullah Sodik, Ketua Serikat Pekerja Pertamina, problem kelangkaan BBM itu sebenarnya diakibatkan oleh rusaknya sistem yang diberlakukan pemerintah, yang membuka peluang privatisasi pengelolaan gas. “Serta memberikan kewenangan kepada perusahaan asing dan domistik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Bahkan dibiarkan juga untuk menetapkan harga,” ujarnya.
Wajar bila kemudian, kata Sodik, minyak dan gas yang ada di Indonesia ini sebagian besar dikuasai asing. Tercatat dari 60 kontraktor, 5 di antaranya dalam kategori super major, yakni ExxonMobil, ShellPenzoil, TotalFinaEIf, BPAmocoArco, dan ChevronTexaco, yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Selebihnya masuk kategori Major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. “Sedangkan perusahaan independent menguasi cadangan minyak 12 persen, dan gas 5 persen,” terang Sodik.
Managing Director ECONIT Hendri Saparini menyatakan, kalau harga BBM dinaikkan, maka yang kena dampaknya 80 persen adalah rumah tangga dan industri. Karena itu kalau ingin menutupi tekor APBN, pemerintah mestinya mengotak-atik pos lain, tidak hanya subsidi BBM. Misalnya pos pembayaran utang luar negeri, yang pokok dan bunganya mencekik APBN.
Dalam diskusi terbatas yang digelar FUI beberapa waktu yang lalu terungkap bahwa solusi untuk mengatasi problem BBM harus dimulai dengan mengubah sistem pengelolaan BBM, gas, batu bara dan energi lainnya dari swasta ke negara. Konsekuensinya, pemerintah harus melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan minyak asing. Hendri mencontohkan, Inggris saja melakukan nasionalisasi perbankan. Apalagi Presiden Hugo Chavez dan Evo Morales di negaranya masing-masing.
Langkah selanjutnya adalah memotong bunga rekap APBN sebesar 40-60 triliun, dan memangkas bunga utang 95 triliun.
Sedang winfall profit dari hasil kenaikan minyak dunia saat ini, digunakan untuk menutupi subsidi BBM. ( suara-islam.com )
Meski resto ‘’Dapue Aceh’’ tutup, SPBU Petronas di Cireundeu, Pamulang, Tangerang Selatan, tetap bertahan. Stasiun Pengisian BBM Umum milik Malaysia itu tetap siaga melayani pembeli walau sunyi senyap sejak dibuka dua tahun lalu. Sampai-sampai warung Aceh yang melengkapinya gulung tikar.
Tak hanya SPBU Petronas Cireundeu yang tampak mengenaskan. Keseluruhan dari 45 SPBU jiran ini sami mawon. Bahkan juga SPBU Asing lain yaitu Shell (Belanda) yang berjumlah 19 outlet dan Total Oil (Prancis) 5 outlet, semuanya bagai terasing dari perdagangan BBM di hilir. Toh, mereka semua bertahan.
Bukan tanpa perhitungan SPBU Asing terus melaju walau tekor duluan. Mulai tahun 2011, mereka bakal mulai panen. Ini setelah pemerintah membatasi penjualan premium, yang disebut dengan istilah ‘’BBM Bersubsidi’’.
Menurut pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, kebijakan itu merupakan bagian dari enam indikasi bakal naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Indikasi kedua, pemerintah sudah membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), padahal belum waktunya. Ini maksudnya untuk menetapkan harga minyak dunia. Ketiga, pemerintah belum memperbaiki Undang-undang Migas seperti permintaan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini dikhawatirkan menghambat ruang gerak menaikkan harga BBM.
Keempat, pemerintah belum melaksanakan rekomendasi Pansus BBM DPR. Kalau ini dilakukan bisa menghambat kenaikan harga BMM. Kelima, analisis dan kepekaan yang dibuat pemerintah terkait BBM juga tidak jelas. Misalnya bagaimana jika harga minyak naik, subsidi yang akan digunakan berapa dan kenaikan inflasinya bagaimana. Keenam, batas atas cost recovery dihapus.
‘’Ini memperlihatkan pemerintah sudah didikte asing agar subsidi BBM dihapus,’’ tandas Direktur Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) itu.
Ia menambahkan, "Dengan kondisi seperti ini rakyat sudah menderita. Apalagi kalau sampai harga BBM naik dengan mencabut subsidi, tentu semakin sengsara lagi.’’
Menurut Sekretaris Eksekutif Goverment Watch (Gowa), Andi W Syahputra, wacana pelarangan sepeda motor menggunakan BBM bersubsidi merupakan salah satu agenda kapitalisasi di bidang migas. "Rakyat dipaksa untuk beralih ke BBM yang tidak disubsidi, karena ke depannya mereka akan melepaskan harga BBM ke pasar," ujarnya.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro tujuh tahu silam. Seperti dikutip Kompas, edisi 14 Mei 2003, waktu itu Purnomo menuturkan, “’Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
Selanjutnya, mengutip pernyataan Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, di Trust, edisi 11/2004, terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Perusahaan migas raksasa itu antara lain British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pembatasan tadi hanya akan menguntungkan sebagian pihak. PT Pertamina misalnya, sebagai pemasar BBM bersubsidi bakal kehilangan omset konsumen premium. Sebab, belum tentu pengguna premium beralih ke Pertamax. Bisa saja mereka membeli BBM di SPBU Shell, Petronas, maupun Total. "Ini sudah menjadi risiko pasar BBM yang terbuka," katanya.
Hal itu diakui Pertamina. “Pertamina mengakui ada konsekuensi binsis atas pemberlakuan pembatasan BBM Subsidi yang akan menguntungkan SPBU-SPBU asing,” jelas VP Corporate Communications Pertamina, Mochamad Harun dalam acara Olimpiade Science Nasional Pertamina di Universitas Indonesia, Depok, Senin (27/9/2010).
Pakar perminyakan Kurtubi membenarkan, kalau subsidi BBM dicabut berarti harga premium naik. Ini tentu memberatkan masyarakat. Padahal, lanjutnya, di dunia ini ada 20 negara yang menerapkan kebijakan subsidi BBM. Empat negara lain seperti China, India, Brasil, dan Rusia memberikan subsidi untuk menjaga perekonomian masyarakatnya.
Kurtubi juga mengingatkan, dasar hukum pemerintah memberlakukan pencabutan dan pembatasan BBM, ilegal. Sebab, Undang-undang MigBl nomor 22/2001 itu sudah direkomedasikan Pansus BBM untuk dicabut karena bermasalah. Namun, pemerintah belum mencabutnya.
Menurut Abdullah Sodik, Ketua Serikat Pekerja Pertamina, problem kelangkaan BBM itu sebenarnya diakibatkan oleh rusaknya sistem yang diberlakukan pemerintah, yang membuka peluang privatisasi pengelolaan gas. “Serta memberikan kewenangan kepada perusahaan asing dan domistik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Bahkan dibiarkan juga untuk menetapkan harga,” ujarnya.
Wajar bila kemudian, kata Sodik, minyak dan gas yang ada di Indonesia ini sebagian besar dikuasai asing. Tercatat dari 60 kontraktor, 5 di antaranya dalam kategori super major, yakni ExxonMobil, ShellPenzoil, TotalFinaEIf, BPAmocoArco, dan ChevronTexaco, yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Selebihnya masuk kategori Major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. “Sedangkan perusahaan independent menguasi cadangan minyak 12 persen, dan gas 5 persen,” terang Sodik.
Managing Director ECONIT Hendri Saparini menyatakan, kalau harga BBM dinaikkan, maka yang kena dampaknya 80 persen adalah rumah tangga dan industri. Karena itu kalau ingin menutupi tekor APBN, pemerintah mestinya mengotak-atik pos lain, tidak hanya subsidi BBM. Misalnya pos pembayaran utang luar negeri, yang pokok dan bunganya mencekik APBN.
Dalam diskusi terbatas yang digelar FUI beberapa waktu yang lalu terungkap bahwa solusi untuk mengatasi problem BBM harus dimulai dengan mengubah sistem pengelolaan BBM, gas, batu bara dan energi lainnya dari swasta ke negara. Konsekuensinya, pemerintah harus melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan minyak asing. Hendri mencontohkan, Inggris saja melakukan nasionalisasi perbankan. Apalagi Presiden Hugo Chavez dan Evo Morales di negaranya masing-masing.
Langkah selanjutnya adalah memotong bunga rekap APBN sebesar 40-60 triliun, dan memangkas bunga utang 95 triliun.
Sedang winfall profit dari hasil kenaikan minyak dunia saat ini, digunakan untuk menutupi subsidi BBM. ( suara-islam.com )
loading...
No comments:
Post a Comment