Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua

Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua. Perkembangan jejaring sosial berbasis internet menimbulkan dampak positif dan negatif. Pada sisi positifnya, banyak orang mengakui bahwa jejaring sosial memungkinkan mereka untuk menyambung silaturahmi dan berkomunikasi secara efisien.

Jejaring sosial juga dapat dimanfaatkan untuk menjaring minat, perhatian, atau kepedulian banyak orang untuk mewujudkan idealisme, cita-cita, atau kegiatan tertentu, seperti penggalangan dana untuk membantu korban bencana alam atau penggalangan dukungan untuk pengendalian rokok. Namun pada sisi negatifnya, jejaring sosial dapat disalahgunakan, misalnya untuk penyebarluasan informasi yang tidak pantas.

Adanya dampak positif dan negatif dari jejaring sosial telah menimbulkan polemik, bahkan menimbulkan isu tentang kehalalan atau keharamannya. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa jejaring sosial halal asalkan dipakai secara wajar, bijaksana, dan terkendali, sedangkan pemakaian yang tidak bijaksana adalah haram. Ibarat pisau, jika digunakan dengan baik dan bijaksana, jejaring sosial bisa menjadi alat yang bermanfaat, tetapi jika tidak, ia bisa menjadi alat yang berbahaya dan mencelakakan.

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 mewajibkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kewajiban tersebut juga berlaku dalam menghadapi dan menyikapi perkembangan teknologi informasi, termasuk perkembangan jejaring sosial di dalamnya. Komitmen untuk melaksanakan kewajiban tersebut dinyatakan oleh Pemerintah dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam Penjelasan Umum UU ITE, Pemerintah mengakui dampak positif dan negatif teknologi informasi, sebagaimana dikemukakan dalam pernyataan: Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Lantas, sebagai komitmen untuk memaksimalkan manfaat teknologi informasi dan melindungi masyarakat dari dampak negatifnya, dalam Pasal 40 UU ITE Pemerintah menyatakan:

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Usaha pemerintah untuk menindaklanjuti UU ITE dengan tindakan nyata patut kita apresiasi dan hargai. Bagaimanapun, sebagai produk manusia biasa, usaha tersebut tidak akan lepas dari kekurangan dan oleh karena itu, membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat untuk perbaikan lebih lanjut. Masih banyak isu seputar teknologi informasi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti: pengaturan konten multimedia, perlunya ketegasan mengenai kriteria pencemaran nama baik dalam UU ITE, dan perlunya fasilitasi kepada masyarakat untuk menuju pemanfaatan internet yang optimal.

Sebagai reaksi terhadap pemuatan informasi yang merusak di internet (seperti: informasi yang bertentangan dengan norma kesusilaan), Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memprakarsai penyusunan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia (Multimedia Content). RPM tersebut menuai banyak protes dari masyarakat karena substansinya berpotensi membatasi (mengekang) kebebasan berekspresi.

RPM tersebut juga memancing komentar dari Presiden. Pada dasarnya, Presiden tidak menghendaki campur tangan yang terlalu jauh dalam ranah publik. Apabila memang diperlukan untuk kemaslahatan masyarakat, pengaturan konten multimedia perlu melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan harus dapat menciptakan harmoni antara " freedom of the press " dan " benefit of the people ".

Pasal 27 ayat (3) UU ITE melarang setiap orang untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sehingga muncul beragam penafsiran dalam penerapannya. Kasus paling terkenal dalam hal ini adalah perkara antara Rumah Sakit Omni Internasional dan Prita Mulyasari. Semula, RS Omni mengadukan Prita atas tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik melalui internet sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU ITE. Proses pengadilan selanjutnya ternyata memutuskan bahwa apa yang dilakukan Prita bukan merupakan pencemaran nama baik.

Masih banyak kasus lain yang serupa dengan kasus Prita tetapi dengan putusan yang berbeda. Beberapa pakar berpendapat bahwa tanpa kriteria jelas, Pasal 27 UU ITE hanya akan menjadi pasal karet yang dapat ditafsirkan atau ditarik ulur sesuai dengan kepentingan golongan tertentu. Kondisi ini tentu akan membahayakan demokrasi karena akan menjadikan orang takut mengajukan kritik atau pengaduan.

Seiring dengan meningkatnya pengaduan masyarakat kepada kepolisian mengenai dugaan pencemaran nama baik melalui jejaring sosial, Pemerintah perlu memberikan kriteria tegas. Sebagian pihak bahkan mengusulkan revisi terhadap UU ITE untuk mengakomodasi hal tersebut.

Pasal 40 UU ITE mengamanatkan Pemerintah untuk memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Amanat tersebut diperkuat dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menyatakan:


  • Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
  • Badan Publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
  • Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.


Kewajiban penyediaan informasi publik tersebut merupakan cerminan dari komitmen Pemerintah untuk mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka, mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU KIP.

Sayangnya, dari berita-berita di media massa, kesiapan Pemerintah untuk memberikan fasilitasi kepada masyarakat masih minim, misalnya: dari segi infrastruktur. Sampai tanggal 30 April 2010 (tanggal berlakunya UU KIP), baru 10 badan publik yang dikategorikan oleh Komisi Informasi sudah mulai bersiap-siap melaksanakan UU KIP. Jumlah tersebut masih jauh dari harapan.

Agar good governance cepat terwujud, masyarakat perlu memanfatkan hak-hak mereka sebaik mungkin untuk berperan serta dalam pembangunan teknologi informasi karena masyarakat adalah pemain utama sedangkan Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator. UU ITE maupun UU KIP mengatur dan mendorong peran serta masyarakat tersebut. ( mediaindonesia.com )


loading...

This article may also you need...!!!




1 comment: