Apa Sih Maunya Malaysia ... ???. Negeri jiran Malaysia selalu membuat greget sebagian pihak di Indonesia. Derita Manohara, soal TKI, klaim atas reog Ponorogo, sampai konflik Ambalat, membuat banyak orang Indonesia geram terhadap Malaysia.
”Maumu apa, Malaysia?” begitu judul buku yang ditulis oleh Genuk Ch. Lazuardi, seorang WNI yang tinggal di Kuala Lumpur, menjelaskan kemarahan warga atas jirannya yang sok main comot atas budaya dan main caplok atas wilayah Indonesia di perbatasan.
Buku yang diterbitkan oleh Gramedia itu diluncurkan di Jakarta, 7 Juli 2010. Dibahas oleh Dr. Alfitra Salam dari LIPI dan Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional serta Ketua Ikatan Kesetiakawanan Wartawan Indonesia-Malaysia Saiful Hadi, Pemimpin Redaksi Kantor Berita ANTARA.
Mereka membahas apa yang menjadi dasar biang kerok dari panas dinginnya hubungan dua negara serumpun. Salah satunya adalah Malaysia yang sebelumnya saudara muda Indonesia, kini mau menjadi saudara tua sehingga terkesan pongah dan meminjam istilah Betawi: ngelunjak.
Dibanding kebesaran dan kekayaan Indonesia, Malaysia tentu tidak seberapa. Para pemimpin Malaysia dulu sangat mengagumi dan menghormati pemimpin Indonesia. Mantan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sangat memuja Soekarno.
”Awak ini apalah dibanding Soekarno. I am just a little Soekarno,” kata Mahathir yang doyan bener makan nasi Padang di kedai Natrabu, Jl. Sabang, Jakarta.
Mahathir hanyalah Soekarno kecil seperti diakuinya sendiri. Ia juga sangat menghormati Presiden Soeharto. Mahathir sangat terkesan dengan cara Soeharto mengelola negeri dengan banyak puak, namun bisa dipersatukan dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Sedang di Malaysia, yang hanya tiga puak –Melayu, China dan India- sulit sekali dipersatukan. Konflik etnis sangat laten di Malaysia.
Situasi berubah
Namun situasi menjadi lain ketika Soeharto lengser pada Mei 1998 dan Indonesia dihajar krisis ekonomi yang membuat negeri ini terpuruk. Krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik, membuat pemerintahan di Indonesia silih berganti dengan cepat.
Gonjang ganjing politik membuat Indonesia tak sempat memulihkan ekonominya dengan cepat seperti negeri-negeri jirannya. Sementara Indonesia terpuruk, Malaysia bangkit. Ekonominya melesat. Proyek mobil nasionalnya dikembangkan. Menara kembar Petronas didirikan. Ibukota dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putera Jaya. Bandara internasionalnya juga direlokasi dari Subang ke Sepang yang lebih modern.
Perusahaan-perusahaan Malaysia merambah ke luar negeri. Perkebunan sawit di Sumatra dan Kalimantan banyak yang dimiliki perusahaan berlabel Berhad. Bank Niaga diakuisi sahamnya menjadi CIMB-Niaga. Maskapai AirAsia menguasai pasar angkutan udara murah meriah. Di bidang budaya dan pariwisata, Malaysia memantapkan diri sebagai sejatinya Asia (Truly Asia).
Masalah sengketa perbatasan yang sebelumnya dipetieskan atas nama ”ASEAN way” dan penghormatan terhadap Soeharto sebagai pemimpin senior bangsa-bangsa Asia Tenggara, tiba-tiba saja dibuka dan diangkat ke Mahkamah Internasional. Sipadan dan Ligitan akhirnya beralih ke pangkuan Malaysia. Produk budaya Indonesia dipatenkan sebagai produk Melayu Malaysia.
Ini yang membuat pusing saudara tua, Indonesia. Sedikit saja terjadi gesekan, misalnya ada TKI yang dipukuli majikan atau pergerakan Angkatan Laut Malaysia di Ambalat, sudah cukup membuat massa turun ke jalan. Atau bahkan, pernah terjadi, melakukan sweeping atas warga Malaysia di Indonesia.
”Ganyang Malaysia, kecuali Siti Nurhaliza,” adalah ungkapan yang sering muncul ketika situasi hubungan Indonesia-Malaysia memanas. Konfrontasi dengan Malaysia pada masa lalu selalu menjadi trauma yang sulit dihapus di benak warga dua negara.
Itulah yang membuat gemerutuk gigi pengunjuk rasa yang geram: ”Maumu apa sih, Malaysia?”.
Tak mau apa-apa
Ternyata, menurut Genuk Ch. Lazuardi, Malaysia itu tidak mau apa-apa. Ia sebagai bangsa merdeka yang berdaulat, tentu saja ingin hidup sejajar dan berdampingan dengan saling menguntungkan. Semua negara punya tanggung jawab untuk mengupayakan kepentingan nasionalnya. Itu tentu sah-sah saja.
”Janganlah terlalu romantis dan emosional dalam berhubungan dengan Malaysia. Jangan terlalu menganggap kita sebagai bangsa serumpun, lalu kita merasa berhak menjewer dan memarahi saudara muda kita yang kini tegak lebih baik,” kata Asro Kamal Rokan.
Persoalannya, menurut Asro, bukanlah ”Apa Maumu, Malaysia?”. Akan tetapi sebenarnya adalah ”Apa Maumu, Indonesia?”. Titik tolaknya adalah internal Indonesia yang harus membenahi diri supaya tidak merasa tersalib oleh Malaysia yang melesat maju.
Kejelitaan Malaysia adalah dia melaksanakan konsep-konsep yang sebetulnya tidak orisinil Malaysia, tetapi sebetulnya bisa saja ide datangnya dari Indonesia. Para pemimpin Indonesia pernah sibuk mau memindahkan Ibukota Jakarta yang sudah sumpek ke Jonggol. Tapi ribut terus sehingga tidak pernah terjadi. Malaysia diam-diam membangun kota baru Putra Jaya dan memindahkan ibukotanya tanpa banyak wacana.
Proyek mobil nasional juga Indonesia yang punya gagasan jitu. Tapi, lagi-lagi ribut dan ribet terus. Akhirnya Malaysia yang kembangkan mobil nasional sehingga sekarang sudah bisa diekspor termasuk ke Indonesia. Indonesia gembar-gembor tentang perlunya hak milik intelektual dilindungi, tapi lupa mempatenkan produk budayanya sendiri. Jangan salahkan kalau Malaysia mempatenkan reog atau rendang Indonesia.
Jadi, kesimpulannya, yang sebetulnya membuat hubungan Indonesia-Malaysia sering kisruh adalah pepatah Inggris: ”Neighbor grass is always greener”. Rumput tetangga itu selalu membuat iri karena senantiasa kelihatan lebih hijau.
Oleh karena Malaysia adalah tetangga dekat, maka wajar kalau ada gesekan dan benturan. Dengan Ghana atau Senegal, Indonesia tidak pernah ada konflik atau persoalan, karena negeri di Afrika yang jauh itu bukan tetangga.
Rumput Ghana atau Senegal tidak pernah kelihatan oleh masyarakat Indonesia. Tapi rumput Malaysia ada di depan mata. Itu yang membuat iri. Apalagi kalau jiran itu sepertinya mau mengambil milik kita. Geram rasanya. Itu yang membuat gigi gemerutuk. Maumu apa sih Malaysia? ( antaranews.com )
”Maumu apa, Malaysia?” begitu judul buku yang ditulis oleh Genuk Ch. Lazuardi, seorang WNI yang tinggal di Kuala Lumpur, menjelaskan kemarahan warga atas jirannya yang sok main comot atas budaya dan main caplok atas wilayah Indonesia di perbatasan.
Buku yang diterbitkan oleh Gramedia itu diluncurkan di Jakarta, 7 Juli 2010. Dibahas oleh Dr. Alfitra Salam dari LIPI dan Asro Kamal Rokan dari Jurnal Nasional serta Ketua Ikatan Kesetiakawanan Wartawan Indonesia-Malaysia Saiful Hadi, Pemimpin Redaksi Kantor Berita ANTARA.
Mereka membahas apa yang menjadi dasar biang kerok dari panas dinginnya hubungan dua negara serumpun. Salah satunya adalah Malaysia yang sebelumnya saudara muda Indonesia, kini mau menjadi saudara tua sehingga terkesan pongah dan meminjam istilah Betawi: ngelunjak.
Dibanding kebesaran dan kekayaan Indonesia, Malaysia tentu tidak seberapa. Para pemimpin Malaysia dulu sangat mengagumi dan menghormati pemimpin Indonesia. Mantan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sangat memuja Soekarno.
”Awak ini apalah dibanding Soekarno. I am just a little Soekarno,” kata Mahathir yang doyan bener makan nasi Padang di kedai Natrabu, Jl. Sabang, Jakarta.
Mahathir hanyalah Soekarno kecil seperti diakuinya sendiri. Ia juga sangat menghormati Presiden Soeharto. Mahathir sangat terkesan dengan cara Soeharto mengelola negeri dengan banyak puak, namun bisa dipersatukan dalam satu negara kesatuan Republik Indonesia. Sedang di Malaysia, yang hanya tiga puak –Melayu, China dan India- sulit sekali dipersatukan. Konflik etnis sangat laten di Malaysia.
Situasi berubah
Namun situasi menjadi lain ketika Soeharto lengser pada Mei 1998 dan Indonesia dihajar krisis ekonomi yang membuat negeri ini terpuruk. Krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik, membuat pemerintahan di Indonesia silih berganti dengan cepat.
Gonjang ganjing politik membuat Indonesia tak sempat memulihkan ekonominya dengan cepat seperti negeri-negeri jirannya. Sementara Indonesia terpuruk, Malaysia bangkit. Ekonominya melesat. Proyek mobil nasionalnya dikembangkan. Menara kembar Petronas didirikan. Ibukota dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putera Jaya. Bandara internasionalnya juga direlokasi dari Subang ke Sepang yang lebih modern.
Perusahaan-perusahaan Malaysia merambah ke luar negeri. Perkebunan sawit di Sumatra dan Kalimantan banyak yang dimiliki perusahaan berlabel Berhad. Bank Niaga diakuisi sahamnya menjadi CIMB-Niaga. Maskapai AirAsia menguasai pasar angkutan udara murah meriah. Di bidang budaya dan pariwisata, Malaysia memantapkan diri sebagai sejatinya Asia (Truly Asia).
Masalah sengketa perbatasan yang sebelumnya dipetieskan atas nama ”ASEAN way” dan penghormatan terhadap Soeharto sebagai pemimpin senior bangsa-bangsa Asia Tenggara, tiba-tiba saja dibuka dan diangkat ke Mahkamah Internasional. Sipadan dan Ligitan akhirnya beralih ke pangkuan Malaysia. Produk budaya Indonesia dipatenkan sebagai produk Melayu Malaysia.
Ini yang membuat pusing saudara tua, Indonesia. Sedikit saja terjadi gesekan, misalnya ada TKI yang dipukuli majikan atau pergerakan Angkatan Laut Malaysia di Ambalat, sudah cukup membuat massa turun ke jalan. Atau bahkan, pernah terjadi, melakukan sweeping atas warga Malaysia di Indonesia.
”Ganyang Malaysia, kecuali Siti Nurhaliza,” adalah ungkapan yang sering muncul ketika situasi hubungan Indonesia-Malaysia memanas. Konfrontasi dengan Malaysia pada masa lalu selalu menjadi trauma yang sulit dihapus di benak warga dua negara.
Itulah yang membuat gemerutuk gigi pengunjuk rasa yang geram: ”Maumu apa sih, Malaysia?”.
Tak mau apa-apa
Ternyata, menurut Genuk Ch. Lazuardi, Malaysia itu tidak mau apa-apa. Ia sebagai bangsa merdeka yang berdaulat, tentu saja ingin hidup sejajar dan berdampingan dengan saling menguntungkan. Semua negara punya tanggung jawab untuk mengupayakan kepentingan nasionalnya. Itu tentu sah-sah saja.
”Janganlah terlalu romantis dan emosional dalam berhubungan dengan Malaysia. Jangan terlalu menganggap kita sebagai bangsa serumpun, lalu kita merasa berhak menjewer dan memarahi saudara muda kita yang kini tegak lebih baik,” kata Asro Kamal Rokan.
Persoalannya, menurut Asro, bukanlah ”Apa Maumu, Malaysia?”. Akan tetapi sebenarnya adalah ”Apa Maumu, Indonesia?”. Titik tolaknya adalah internal Indonesia yang harus membenahi diri supaya tidak merasa tersalib oleh Malaysia yang melesat maju.
Kejelitaan Malaysia adalah dia melaksanakan konsep-konsep yang sebetulnya tidak orisinil Malaysia, tetapi sebetulnya bisa saja ide datangnya dari Indonesia. Para pemimpin Indonesia pernah sibuk mau memindahkan Ibukota Jakarta yang sudah sumpek ke Jonggol. Tapi ribut terus sehingga tidak pernah terjadi. Malaysia diam-diam membangun kota baru Putra Jaya dan memindahkan ibukotanya tanpa banyak wacana.
Proyek mobil nasional juga Indonesia yang punya gagasan jitu. Tapi, lagi-lagi ribut dan ribet terus. Akhirnya Malaysia yang kembangkan mobil nasional sehingga sekarang sudah bisa diekspor termasuk ke Indonesia. Indonesia gembar-gembor tentang perlunya hak milik intelektual dilindungi, tapi lupa mempatenkan produk budayanya sendiri. Jangan salahkan kalau Malaysia mempatenkan reog atau rendang Indonesia.
Jadi, kesimpulannya, yang sebetulnya membuat hubungan Indonesia-Malaysia sering kisruh adalah pepatah Inggris: ”Neighbor grass is always greener”. Rumput tetangga itu selalu membuat iri karena senantiasa kelihatan lebih hijau.
Oleh karena Malaysia adalah tetangga dekat, maka wajar kalau ada gesekan dan benturan. Dengan Ghana atau Senegal, Indonesia tidak pernah ada konflik atau persoalan, karena negeri di Afrika yang jauh itu bukan tetangga.
Rumput Ghana atau Senegal tidak pernah kelihatan oleh masyarakat Indonesia. Tapi rumput Malaysia ada di depan mata. Itu yang membuat iri. Apalagi kalau jiran itu sepertinya mau mengambil milik kita. Geram rasanya. Itu yang membuat gigi gemerutuk. Maumu apa sih Malaysia? ( antaranews.com )
loading...
Itulah makanya indonesia harus lebih memperhatikan kebudayaannya.. dan pemimpin bangsa jangan sibuk korupsi ... dab berdebat gak jelas,... artikel mantep gan.. mampir di blog ane yach
ReplyDelete