VALENTINE vs PILKADA

Menarik ketika ada keinginan dan gairah untuk menuliskan lagi apa yang hanya sekadar ingin disampaikan, tanpa harus berada di pihak golongan apa dan kubu apapun itu. Seiring dengan semakin menyodot perhatian publik di detik-detik perhelatan pesta demokrasi tingkat daerah, bahkan di salah satu daerah ada yang disebut pilkada rasa pilpres, seiring turun gunungnya para nahkoda yang paling punya peran dan berpengaruh di negara ini.

Oke, sudahlah! Biarkan orang-orang terus berdemokrasi, dengan tetap menjaga bahwa yang berkuasa tetapalah rakyat sesuai dari konsep demokrasi itu sendiri, dan jangan pernah terjadi seperti f2atwa termasyhurnya Lord Acton, “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti 0 0 secara tak terbatas pula.”

Di tahun-tahun sebelumnya H-7 atau hari berapapun sebelum hari H valentine, segala hal yang 
dengan ini sudah mulai simpang siur, antara yang pro dan kontra, antara yang sudah siap dan yang belum siap dengan segala kegiatannya terkait ingin ikut merayakannya yang notabenenya terjadi kalangan remaja.

VALENTINE vs PILKADA

Sebuah persoalan modernisasi dan pandangan teologis masing-masing manusia yang cukup menjadi bahan pembicaraan di setiap kalangan seakan-akan menemui jalan buntu dalam penyelesainnya. Karena mayoritas bangsa ini muslim, yang secara teologi peringatan valentine katanya bertentangan dengan ajaran Islam yang penuh historik dalam hal ini.

Namun tidak dapat dipungkiri juga, arus globalisasi dan modernisasi serta perubahan sosiologis yang cenderung mengarah pada apa yang menjadi tren selalu menarik perhatian dan peminat yang tak kunjung reda. Sehingga, apa yang terjadi, banyaknya manusia semakin berambisi untuk hal seperti itu, ditambah faktor budaya konsumerisme ataupun hedonisme yang semakin tak terbendung.

Dalam membahas tentang hari valentine atau sebutan lain dari hari kasih sayang untuk pasangannya, merupakan sebuah kebiasaan yang muncul di dunia barat, yang jika apapun dibawa ke Indonesia pasti akan laris dan banyak memikat perhatian, karena Indonesia merupakan bagian dari negara yang tingkat konsumtifnya paling tragis.

Dengan kejadian yang sudah tampak mata seperti itu, tidak mengherankan lagi, segala budaya atau kebiasaan apapun yang ada di dunia juga berkembangbiak dengan baik di negara sedemikan besar ini. Yang menjadi perdebatannya dari dulu-dulu kebiasaan yang seperti ini, dalam hal ini peringatan hari valentine, apakah tidak mencederai sebuah keyakinan manusia (secara teologis).

Seperti pada apa sebelumnya yang sudah disampaikan, secara historis memang istilah Valentine muncul dari kalangan non-muslim, sehingga ada perdebatan sesama kaum muslim pro dan kontra. Namun saya juga tidak ingin memberikan fatwa hari valentine atau fatwa apapun itu, karena sudah terlalu banyak juga fatwa yang dikelurkan oleh yang memang menjadi perannya di situ.

Ada hal yang menarik pada Februari ini, menyurutnya perdebatan tentang hari valentine itu sendiri, karena mungkin juga banyak orang yang sudah mulai bosan dengan pasangannya masing-masing, atau mungkin juga tidak adanya kajian teologis yang mendalami lagi di berbagai lintas agama seiring isu-isu penodaan agama yang masih menjadi polemik berkepanjangan sehingga menjadikannya malas dan bosan.

Bahkan, karena sudah mendekatnya pesta rakyat pemilihan pilkada serentak yang semuanya selalu menjurus pandangan ke pilkada DKI Jakarta, tak sempat untuk mengeluarkan fatwa atau sudah dianggap tidak "booming" lagi fatwanya.

Untuk membendung karena meskipun fatwa dikeluarkan masih tetap saja melakukannya, atau mungkin sudah dianggap tidak membutuhkan fatwa lagi karena respons publik yang sedemikan beragam dan bervariasi untuk mencegah menjamurnya berita hoax?

Cukup kuat dan setia sebenarnya menjadi bagain dari rakyat Indonesia ini, dengan carut marut persoalan sosialnya yang tetap menjadi PR kita bersama, ditambah lagi carut marutnya di setiap lapisan sistem birokrat dengan banyak indikasi tersandung kasus korupsi, serta membumbungnya suhu perpolitikan Jakarta yang menjadi tolak ukur perkembangan politik nasional.

Saya pikir segala fenomena harus dibarengi dengan adanya sebuah fatwa yang cukup bisa menguatkan keyakinan terhadap apa yang dari dulu menjadi sebuah keyakinan tauhidnya, ternyata tidak sedemikan gampang untuk menebaknya. Persoalan keyakinan yang terbentur pertarungan politik di era modrenisasi sehingga menjadi begitu kompleks.
Sumber : Mas Jarwo / G+
loading...

This article may also you need...!!!




No comments:

Post a Comment